Friday, December 30, 2011

Kepala Bukan Ekor



Pdt. Bigman Sirait

Kepala bukan ekor, adalah kata yang sangat akrab di telinga kita. Tiap kali terucap oleh pengkhotbah, dengan semangat tinggi umat akan mengaminkannya. Apalagi jika sang pengkhotbah berapi-api, dapat dibayangkan respon pendengar. Hal ini dapat dipahami, karena setiap orang pasti tak rela menjadi  ekor. Menjadi kepala berarti kaya, si miskinlah ekornya. Orang yang sehat itu ekspresi yang kepala, sementara miskin Anda tahu jawabannya. Semua diukur secara kuantitatif, deret angka. Para pembicara selalu memberi tekanan yang jelas soal kepala dalam ukuran angka, keberhasilan kuantitatif. Kamu kepala karena kamu “orang percaya”, “umat Allah”, itu otomatis. Jika kamu tidak kaya, atau kamu sakit, kamu adalah ekor, kurang beriman, itu rumusannya. Terasa sangat kejam, karena memang sangat diskriminatif, padahal Tuhan tak begitu.
Ini adalah wajah aneh kekristenan yang dimunculkan oleh orang berpikiran pendek, sangat bergairah dengan angka, dan mengabaikan semangat sejati Alkitab. Dengan jelas, Alkitab membicarakan kualitas yang menjadi tuntutan. Lihatlah apa kata Yesus tentang pujian Israel: “Percuma bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku”. Israel mengedepankan kuantitas, sementara Tuhan menuntut kualitas. Ungkapan ini diucapkan Yesaya sebagai nabi. Yesaya menyampaikan kebencian Allah akan kemunafikan yang mewarnai puasa, perpuluhan, dan ibadah Israel.
Tampaknya hal itu kembali terulang di kekinian gereja. Tapi celakanya justru inilah yang diminati umat. Orang rela mengantri untuk motivasi seperti ini. Kurang suka pada kualitas, karena kualitas selalu menuntut keberanian dan pengorbanan yang besar. Tak ada yang mau membayar harga dalam mengikut Yesus, semuanya mau mengambil untung dari percayanya. Padahal keuntungan percaya terle-tak pada keselamatan yang diterima cuma-cuma, bukan soal status sosial atau keadaan lahiriah. Itulah sebab, mengapa para rasul justru merasa beruntung boleh menderita untuk Yesus, bukan sebaliknya, merasa beruntung karena bisnis yang berlipat-lipat. Apakah tidak boleh kaya? Tentu saja bukan itu maksudnya, tetapi amat sangat jelas, kaya bukanlah tujuan orang percaya, melainkan sekadar alat untuk memuliakan Tuhan. Kekayaan bukan kemuliaan diri, kemuliaan adalah pengabdian pada Sang Kebenaran. Kembali pada “kepala bukan ekor”.
Menjadi kepala bukan ekor (Ulangan 28:13) yang dimaksud Alkitab adalah, menjadi pemimpin, pemberi arah. Menjadi kepala itu sangat jelas. Ke mana kepala pergi ke situ ekor mengikuti. Jadi yang dimaksud menjadi kepala bukan soal kaya, atau kuantitas, tetapi sekali lagi soal kualitas. Israel tak boleh seperti bangsa lain yang kafir, tak mengenal Allah. Israel harus bisa menunjukkan keunikannya dalam monoteisnya. Israel yang ber-Allah satu. Itu unik di tengah bangsa lain yang ber-Allah banyak. Itu sebab Israel dituntut setia terhadap firman Tuhan dan mengajarkannya berulang kali kepada setiap anak-anak Israel. Dalam kesetiaan itu mereka diatur oleh hukum Allah yang berdaulat. Maka jika mereka taat, mereka akan menjadi bangsa yang besar dan berpengaruh, berkuasa dan mempengaruhi bangsa yang lainnya. Itulah menjadi kepala.
Sementara soal harta, kesehatan, dan yang lainnya adalah bonus belaka, bukan tujuan utama. Tujuan utama kepala adalah memberi arah, memimpin di jalan yang benar. Indah bukan? Menjadi ekor sudah jelas pengekor, mengikuti arus jaman. Dunia sangat cinta uang, materialistis. Apa saja dihalalkan dalam mengumpulkan uang. Uang membuat seseorang merasa terhormat, dan dengan uang bisa membeli apa saja. Bahkan bisa belanja keadilan, dan kehormatan semu. Uang menjadi tujuan kebanyakan para imam di era Perjanjian Lama, dan semakin menggila di era Perjanjian Baru. Para imam mencari keuntungan lewat ibadah di bait Allah. Yesus pernah membongkar praktek mereka, dan menyucikan bait suci yang ternyata tak suci. Dan yang paling mengerikan, Yudas pun rela menjual Yesus dengan 30 keping perak. Uang telah membuat Yudas gelap mata, membuang kehormatan kemuridannya. Semua soal uang, soal kaya.
Inikah menjadi kepala? Jelas amat sangat itu salah. Itu bukan kepala, tetapi sebaliknya itu ekor tanpa daya. Tertarik dengan nilai dunia, dan menjadi pengikutnya. Ironis bukan, merasa menjadi kepala, padahal murni ekor. Mengikut dunia, tetapi merasa memimpinnya. Itu sebab tidak heran jika dunia mencemooh gereja yang semakin hari semakin berkurang saja orang setia yang beriman teguh. Mirip kisah Gideon yang mempersiapkan tentara untuk pertempuran sebanyak 30 ribu orang (Hakim 7). Tetapi ternyata tinggal sedikit ketika seleksi ilahi terjadi. Gideon pergi bertempur hanya dengan 300 tentara, dan berhasil. Gereja bagaikan 30 ribu orang yang banyak, ramai, penuh. Padahal yang sejati hanya 300 orang, kecil, sedikit, tampak tak berarti, tapi itulah pemenangnya. Kualitas bukan kuantitas. Jadi sangat jelas bukan artinya menjadi kepala. Ingat, para nabi bukan orang kaya, bahkan sebaliknya, ada yang peternak kaya dipanggil jadi nabi dan meninggalkan semuanya. Ada Elisa yang menolak uang Naaman, sementara pelayan masa kini mirip Gehazi pembantu Elisa, bukan saja menyambar uang yang ditolak Elisa, jika perlu mereka menipu dengan dalih proyek pelayanan. Dan jika kaya, mereka menyebut diri kepala. Sungguh sebuah penipuan yang licin.
Penipuan dengan pembenaran yang diindoktrinasikan, yang membuat umat terbius, dan kalaupun tahu, takut mengoreksinya. Ingat, kaya bukan dosa, bukan kaya yang jadi masalah, tetapi konsepnya dan caranya. Jika Tuhan mau memberi, apalah susahnya. Dunia ini, dan segenap isinya milik Tuhan. Tapi, berkata mewah itu dari Tuhan, dan menjadikannya gaya hidup, itulah persoalan. Umat Kristen menjadi sangat self oriented, gila kaya, kehilangan kepekaan pada sesama. Kesaksian selalu berputar soal kuantitas, bukan lagi kualitas hidup. Seharusnya menjadi kepala, adalah menjadi orang yang berintegritas, orang yang dapat diteladani menjadi model, menjadi kepala. Alangkah indahnya dunia jika orang Kristen menjadi terang seperti tuntutan Yesus kepada setiap orang percaya.
Orang Kristen menjadi kepala, sehingga jelaslah arah kehidupan. Ini menjadi tuntutan pada setiap pemimpin. Dalam kepemimpinan umum, seharusnya seorang pemimpin memiliki jiwa kepahlawanan, menjadi pelindung kaumnya, dan sangat menjaga orang di sekitarnya. Dia bukan tipe orang yang mengamankan diri, dan pengkhianat terhadap pengabdian orangnya sendiri. Dia bukan pemimpin yang hanya lancar bicara, tapi gagap mewujudkannya. Bukan oportunis, cinta kaya, ingin jadi idola, tetapi mengorbankan kawan-kawannya. Begitu pula dalam dunia keagamaan, sungguh tak bisa dibayangkan pemimpin agama yang oportunis bukan? Menyedot kekayaan umat, dengan meminta umat suka memberi, padahal dia sendiri sebagai pemimpin agama tak suka berbagi. Hanya menumpuk untuk diri, dan terus berjalan dalam manipulasi.
Menjadi kepala bukan ekor dalam arti yang sesungguhnya sangat dibutuhkan di tengah dunia yang oportunis ini. Menjadi kepala bukan ekor sudah seharusnya menjadi semangat yang tak pernah padam, itulah panggilan orang percaya. Cobalah mulai dengan sikap yang kritis dengan mencermati kepemimpinan agama di sekitar Anda, mulailah mengenali mana yang sejati dan mana yang hanya sekadar untuk materi. Ingat, jual beli “Firman” sudah sangat terkenal di era Bileam si nabi mata duitan. Karena itu jangan terjerumus lagi di lubang yang sama, di kekinian masa. Lalu mulai pula dengan berani mempertanyakan hal yang kelihatan salah. Tak perlu takut risikonya, karena Tuhan Yesus sudah mengatakannya: bahwa yang layak menjadi murid-Nya hanyalah mereka yang berani menanggung risiko.
Tentukan sikap, apakah Anda kepala (murid Kristus), atau hanya ekor (pengikut pemimpin agama). Lalu belajarlah menyuarakan kebenaran, belajar menjadi kepala yang tegak, Kristen yang punya sikap, yang konsisten. Ingat ekor akan mengikut Anda. Jika arah sudah benar, berbahagialah, karena Anda telah menolong banyak orang tahu jalan kebenaran, dan saat yang sama tahu pula apa itu kepalsuan. Selamat menjadi kepala dan bukan ekor, yang sesungguhnya, bukan yang ecek-ecek.

Monday, December 12, 2011

Anugerah yang Tiada Ternilai

Oleh : Pdt.Dr.Erastus Sabdono
From : Truth Daily Enlightenment

Baca: Kejadian 6:7–8
Alkitab dalam setahun: Wahyu 13–16
Hidup yang diisi oleh gairah atau semangat Tuhan Yesus bukanlah kehidupan yang menakutkan dan membuat seseorang menjadi aneh serta tidak bisa menikmati kehidupan hari ini. Justru sebaliknya, inilah kehidupan yang sangat bernilai luar biasa. Kristus adalah teladan manusia yang sesuai dengan rancangan Allah semula, jadi kalau kita mau dikembalikan kepada rancangan semula tersebut, mengenakan gairah-Nya adalah suatu keharusan.
Jika kita diperkenankan memiliki kehidupan yang bernilai tersebut, itu merupakan anugerah yang tiada ternilai. Sama seperti Nuh, ketika ia menerima suara Tuhan untuk membuat bahtera. Di satu sisi, Nuh harus memikul tanggung jawab yang besar; tetapi di sisi lain, Nuh mendapat anugerah atau kasih karunia untuk diselamatkan bersama dengan orang-orang yang dicintainya. Itulah yang dikatakan oleh Alkitab, “Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata Tuhan” (ay. 8).
Jadi anugerah atau kasih karunia itu memuat tanggung jawab yang besar. Tidak mungkin Allah yang bertanggung jawab memberi kita anugerah tanpa tanggung jawab. Tetapi tanggung jawab tersebut tidak mengurangi nilai anugerah tersebut sama sekali.
Panggilan untuk mengenakan kehidupan Tuhan Yesus bukanlah beban, bukan sesuatu yang membuat seseorang merasa tertekan dan teraniaya. Panggilan itu justru suatu anugerah. Hanya saja sayang sekali karena banyak orang Kristen menganggap bahwa anugerah tidak perlu diresponi dan tidak butuh keaktifan, mereka gagal untuk menerima anugerah tersebut. Tanpa respons yang semestinya, kita tidak memasuki proses keselamatan. Ironisnya, banyak orang merasa telah memiliki keselamatan itu walaupun tidak mau bertindak secara memadai untuk meresponinya. Hati-hatilah sebab ini merupakan kebodohan yang membinasakan.
Perlu dicatat serius bahwa sesungguhnya tidak banyak orang yang memiliki kesempatan yang luar biasa ini. Hanya orang yang terpilihlah yang mendapatkan kesempatan ini. Jika kita masih bisa mengetahui kebenaran ini dan masih bisa belajar memahami petunjuk pelaksanaan kehidupan sebagai anak-anak Allah, itu berarti kita termasuk orang pilihan. Maka marilah dengan penuh ucapan syukur atas anugerah ini, kita serius menyambut pemilihan tersebut dengan penuh tanggung jawab meresponinya.
Mengenakan gairah Tuhan Yesus merupakan anugerah yang diberikan Allah
hanya bagi umat pilihan.

Sunday, December 4, 2011

Nyanyian Kematian

Oleh : Pdt.Dr.Erastus Sabdono.
From : Truth Daily Enlightenment

Baca: Yohanes 15:13
Alkitab dalam setahun: Wahyu 17–19
Bayangkan, Anda sedang tergeletak di ruang ICU (Intensive Care Unit) di rumah sakit. Nafas Anda hanya tinggal sepotong saja; artinya untuk bernafas pun harus menggunakan alat bantu. Tidak ada lantunan musik klasik atau lagu pop. Kalaupun ada nyanyian, yang terdengar adalah nyanyian kematian. Seakan-akan penghuni ruangan ICU tersebut sedang mempersiapkan suatu paduan suara bersama dalam senandung nyanyian kematian. Terdengar suara monoton alat-alat medis yang tengah menopang nyawa orang-orang yang sedang sekarat, termasuk Anda. Dingin, tegang, mengerikan.
Anda tidak bisa membedakan kapan siang kapan malam; yang Anda tahu, bila malam tiba semua menjadi senyap. Tidak ada lagi hilir mudik orang-orang yang datang membusuk untuk melawat dan mendoakan mereka yang sakit. Kalau malam tiba hanya terdengar sesekali suster dan dokter berbicara perlahan setengah berbisik; terdengar langkah sandal yang diseret. Itu pasti langkah suster atau dokter. Kadang-kadang terdengar langkah kaki keluarga pasien yang menengok anggota keluarga mereka yang sakit di tengah malam. Semakin malam, suasana lebih senyap lagi, seakan-akan Anda sudah ada di kuburan. Menengok ke kanan dan ke kiri hanyalah ranjang-ranjang pasien yang bernasib sama dengan Anda. Tak terpikir adanya televisi yang menayangkan sinetron berseri yang selama ini menemani Anda sebelum terlelap tidur ketika Anda masih sehat. Kalau penciuman Anda masih berfungsi, yang tercium hanyalah bau khas ruang rumah sakit yang sarat obat-obatan. Tidak ada wangi parfum atau aroma kopi hangat.
Dokter sudah memberi isyarat kepada keluarga bahwa sudah tidak ada harapan bagi keadaan Anda. Nyawa Anda tidak lebih dari beberapa hari atau bahkan hanya tinggal beberapa jam, oleh karenanya dokter menyarankan agar keluarga bisa dikumpulkan. Barangkali Anda masih bisa merasakan kehadiran keluarga di sekitar Anda, tetapi sudah tidak mampu menggerakkan anggota tubuh sama sekali. Kalau bisa berbicara, Anda ingin berkata, “Temani aku, temani aku.” Tetapi suara itu tidak akan terdengar sebab mulut pun sedang dipenuhi selang ventilator.
Akankah pada waktu seperti itu kita mengingat Sahabat kita yang bernama Yesus Kristus, yang sudah mati untuk kita? Masih mampukah kita berkata, “Tuhan, Engkau sahabatku. Temanilah aku”? Dan apakah saat-saat terakhir itu menjadi saat yang mengerikan atau saat yang menyenangkan, sebab kita tahu akan melihat Sahabat Sejati kita itu? Itu harus kita renungkan mulai sekarang.

Saat nyanyian kematian terdengar, kita tahu bahwa Sahabat Sejati kita menemani.

Tuesday, November 15, 2011

Tsélém yang Ditelantarkan


Oleh: Pdt.Dr.Erastus Sabdono
From Truth Daily Enlightenment

Baca: Mazmur 73:18–20
Alkitab dalam setahun: Mazmur 119:1–88

Tujuh puluh tahun usia hidup manusia sangatlah singkat bila dibandingkan dengan kekekalan. Dalam tulisannya, Pemazmur menyatakan, “Seperti mimpi pada waktu terbangun, ya Tuhan, pada waktu terjaga, rupa mereka Kaupandang hina” (ay. 20). Suatu hari nanti, ketika seseorang terjaga di kekekalan, sadarlah mereka bahwa hidup ini seperti mimpi belaka. Tetapi terlambat sudah; rupa mereka dipandang hina oleh Tuhan. Artinya keadaan rohani mereka tidak indah di mata Tuhan.
Kata rupa dalam teks ini dalam bahasa aslinya adalah צֶּלֶם (tsélém) yang juga merupakan kata yang digunakan untuk menggambarkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dalam Kej. 1:26, atau aslinya צֶּלֶם (tsélém) dan דְּמוּת (demûth). Tsélém hendak menunjuk gambar dalam arti unsur-unsur dasar yang dimiliki Allah juga dimiliki manusia—yaitu pikiran, perasaan, kehendak, kekekalan dan hakikat kerja. Sementara demûth menunjuk keserupaan, dalam arti kualitas unsur-unsur tersebut.
Eloknya wajah kita di kekekalan diukur dari kualitas tsélém kita, yaitu apa yang ada di dalam jiwa kita—pikiran, perasaan dan kehendak kita. Jadi kalau selama hidup di dunia ini kita tidak memedulikan wajah batiniah kita tersebut, jangan heran jika setelah meninggal rupa kita tidaklah elok di mata Tuhan.
Seperti apakah sikap dan perbuatan yang menelantarkan tsélém atau wajah batiniah itu? Misalnya, sibuk mendandani wajah lahiriah dengan segala perhiasan fisik tetapi abai bahwa wajah batiniah juga harus didandani. Atau, sibuk memperkaya diri dengan segala fasilitas duniawi, namun lalai mengumpulkan harta di surga, yaitu keindahan manusia batiniahnya.
Contoh orang yang menelantarkan tsélém-nya adalah orang kaya dalam kisah orang kaya dan Lazarus di Luk. 16:19–31. Setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. Tidak bisa dibayangkan, saat hidup di dunia ini berakhir, betapa menyesal hatinya karena kedatangan Lazarus ke rumahnya sebenarnya merupakan kesempatan supaya ia dapat menghiasi jiwanya dengan perhiasan yang berharga di mata Allah. Ia telah menyia-nyiakan kesempatan itu; tidak ada lagi kesempatan yang lain. Selama hidup, ia berpikir wajar seperti orang lain umumnya. Ia merasa dirinya sangat realistis, tetapi saat menyaksikan kekekalan, barulah ia celik bahwa sesungguhnya ia tidak berpikir realistis. Ia baru sadar bahwa selama di dunia hidupnya hanya fantasi. Akhirnya semua yang dimilikinya lenyap dan rupanya dipandang hina.
Utamakan mendandani wajah batiniah kita selama masih ada kesempatan.

Monday, October 31, 2011

Buah-buah Roh

Galatia 5:22-24

Surat Paulus tentang Buah Roh :

1. Kasih
2. Sukacita
3. Damai Sejahtera
4. Kesabaran
5. Kemurahan
6. Kebaikan
7. Kesetiaan
8. Kelemahlembutan
9. Penguasaan Diri




Barang siapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan hawa nafsu dan keinginannya. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh.

Thursday, October 20, 2011

Parákletos


Oleh : Pdt.Dr.Erastus Sabdono
From : Truth Daily Enlightenment

Baca: Yohanes 14:26
Alkitab dalam setahun: Yeremia 26–29
Sebelumnya Roh Allah menyertai manusia, tetapi kemudian Ia undur meninggalkan anak-anak Allah dalam Kej. 6:1-4 merupakan gambaran dari kehidupan anak-anak Allah hari ini yang sampai taraf tertentu tidak lagi menerima tuntunan Tuhan. Mereka hidup dalam keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup (1Yoh 2:15–17).
Jadi hal yang sama juga dilakukan oleh anak-anak Allah hari ini, yang memilih untuk lebih mengasihi dunia dan keinginan sendiri daripada mendengar suara Tuhan dan hidup menuruti kehendak Tuhan. Alkitab menggambarkan orang-orang semacam ini dalam berbagai perumpamaan: orang-orang yang telah menerima undangan untuk mengikuti pesta perjamuan tetapi tidak mengenakan pakaian pesta (Mat. 22:1–14) atau lima gadis yang bodoh (Mat. 25:1–13).
Di mata orang, belum tentu orang yang hidup tidak sesuai kehendak Allah itu jahat. Bila mereka melakukan pelanggaran pun, banyak di antara mereka cerdik menyembunyikan kejahatannya dari orang lain. Tetapi mata Tuhan yang dapat menembus semua wilayah, Tuhan tahu bahwa mereka tidak melakukan kehendak Bapa.
Kalau kita merasa termasuk kelompok orang-orang yang tidak melakukan kehendak Bapa ini, jangan mengeraskan hati. Masih ada kesempatan untuk bertobat, tetapi kalau kita mengeraskan hati terus, akhirnya bisa binasa. Kabar baiknya adalah Roh Kudus yang diutus oleh Bapa masih bersedia mendampingi kita untuk kembali menuntun kepada seluruh kebenaran Allah.
Tuhan Yesus mengatakan bahwa Roh Kudus adalah Parákletos yang berarti “penghibur”, “pendamping” atau “penolong”. Ialah yang mengajar kita kepada kebenaran, menghibur kita di kala kita merasakan kesulitan untuk mengejar kehendak Allah, dan juga menolong dan menguatkan kita supaya bersemangat dalam berjalan tetap di jalan Tuhan.
Namun pendampingan oleh Roh Kudus ini bisa terhenti. Manakala keinginan daging seseorang sudah sangat kuat dan dominan menguasai hidupnya, ia tidak lagi memberi tempat bagi Roh Kudus. Ia menolak Roh Kudus, dengan kata lain menghujat-Nya. Roh Kudus pun akan mengundurkan dirinya dari orang itu. Kalau sudah begini tak ada kemungkinan lagi untuk bertobat. Maka sekaranglah waktunya untuk merendahkan diri, selama Roh Kudus masih ingin menolong. Merataplah dengan tulus, mohon pengampunan. Tuhan selalu menyediakan ruang hati-Nya menyambut mereka yang sungguh-sungguh bertobat dan bersedia diperbarui.
Jika kita telah melenceng dari jalan Tuhan, bertobatlah
selama Roh Kudus masih ingin menolong.

Wednesday, October 5, 2011

Tidak Bisa Memaksa

Oleh : Pdt.Dr.Erastus Sabdono
From : Truth Daily Enlightenment

Baca: Kejadian 4:6–7
Alkitab dalam setahun: Yesaya 64–66
Selama ini banyak orang Kristen berpendirian bahwa orang-orang yang tidak menjadi umat pilihan Allah—baik orang Yahudi, umat pilihan Allah secara jasmani, dan orang Kristen, umat pilihan Allah secara rohani—tidak bisa berbuat baik. Semua orang yang jatuh ke dalam dosa tidak bisa berbuat baik sama sekali. Pandangan ini sangat naif dan picik, sebab kenyataannya Ayub yang bukan orang Yahudi dan bukan orang Kristen pun memiliki kesalehan yang lebih dari orang lain pada zamannya. Dapatkah kita membantah pernyataan Alkitab bahwa Ayub seorang yang saleh dan jujur? Orang saleh seperti Ayub sebagai kekasih Tuhan mustahil tidak masuk dunia yang akan datang. Dunia yang akan datang adalah milik Tuhan yang diperuntukkan bagi semua orang yang tertulis dalam kitab kehidupan.
Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, apakah Iblis memaksa mereka untuk berbuat jahat? Perhatikan kisah Kain, anak Adam. Manakala Kain berniat menjahati adiknya, Tuhan tidak tinggal diam. Dengan kesabaran, Ia berkata kepada Kain, “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.”
Dari sabda Tuhan ini jelaslah bahwa sekalipun sudah jatuh ke dalam dosa, Kain sebenarnya masih bisa menghindarkan dirinya dari kesalahan fatal, yaitu tindakan pembunuhan. Kain masih bisa berkuasa atas dosa dan memilih untuk melakukan apa yang baik. Namun Kain menolak untuk mendengarkan Tuhan, dan akhirnya membunuh adiknya.
Perbuatan Kain tersebut bukan hasil paksaan Iblis. Sebagaimana Tuhan tidak bisa memaksa Kain untuk berbuat baik, Iblis juga tidak bisa memaksa orang untuk berbuat jahat. Semua perbuatan, baik maupun buruk, merupakan tanggung jawab manusia itu sendiri.
Taurat yang tertulis dalam hati manusia (Rm. 2:12–15) seharusnya menyanggupkan seseorang berbuat yang baik menurut ukuran manusia Perjanjian Lama. Itulah sebabnya di akhir zaman nanti ada penghakiman berdasarkan perbuatan (Why. 20:12). Ini berbeda dengan orang percaya, yang menghadap takhta pengadilan untuk menerima apa yang pantas diterimanya (2Kor. 5:10) berdasarkan standar pengikut Kristus, yaitu kesempurnaan seperti Bapa (Mat. 5:48). Ini berarti setiap orang menetapkan nasibnya sendiri dari tindakan dan pilihannya.
Baik Tuhan maupun Iblis tidak memaksa manusia;
setiap manusia bertanggung jawab atas tindakan dan pilihannya sendiri.

Tuesday, September 27, 2011

Harta Terpendam


Oleh : Pdt.Dr.Erastus Sabdono
From : Truth Daily Enlightenment


Baca: Matius 13:44–46
Alkitab dalam setahun: Yesaya 5–8

Telah tersedia harta kekayaan yang tidak terbatas dalam pengiringan kita kepada Tuhan. Kita harus bekerja terus sampai kita menemukan kekayaan yang terpendam itu. Dalam teks ini, kita dapat melihat bahwa harta itu terkubur di dalam tanah, lalu ditemukan. Tersirat bahwa si peladang sedang bekerja di ladangnya, tanpa menduga bahwa di ladang yang digarapnya tersebut terdapat harta kekayaan yang tak ternilai.
Ini menunjukkan bahwa seseorang tidak akan mengenali kekayaan dalam Injil sebelum berusaha dengan sungguh-sungguh berusaha memburu Tuhan. Setelah ia menemukan kekayaan dalam Kristus, barulah ia bersedia barter, yaitu melepaskan segala sesuatu dan menganggapnya sampah, seperti Paulus (Flp. 3:7–14). Bagaimana seseorang bisa melepaskan segala sesuatu demi Injil, kalau belum memahami betapa hebat kekayaan yang tersedia dalam keselamatan melalui Tuhan Yesus Kristus itu? Setelah Paulus menyadari betapa hebat kekayaan dalam Kristus Yesus, barulah ia mau melepaskan semua yang baginya dulu merupakan keuntungan atau nilai lebih—ketaatannya kepada hukum Taurat, asal-usul Yahudinya, anggota Farisi, penganut agama Yahudi yang fanatik. Kini semua itu dianggapnya tidak ada harganya; yang diinginkannya hanyalah berusaha untuk mengenali Dia, serta menunjukan dirinya kepada Kerajaan-Nya sebagai tujuan kehidupan.
Rasul Paulus mengatakan bahwa ia mengejar kesempurnaan (Flp. 3:12). Ia tidak merasa puas dengan taraf kehidupan rohani yang sudah dicapainya. Tuhan menghendaki kita memiliki target rohani yang jelas, jadi tentu Ia sedih melihat orang-orang yang tidak berusaha mencapai tingkat kerohanian yang lebih tinggi. Bagaimana perasaan orang tua yang mengharapkan anaknya bisa meningkatkan kualitas diri guna persiapan hidup hari esok, tetapi anaknya menolak dan sibuk dengan segala hal yang tidak berkaitan dengan persiapan menyongsong hari esok?
Waktu yang tersedia sangat singkat, tetapi kalau kita gunakan dengan serius, maka kita akan dapat memperoleh pemahaman-pemahaman baru yang mencengangkan, dan kita akan memahami betapa hebat kekayaan Kerajaan Surga. Keselamatan abadi yang disediakan oleh Tuhan Yesus sampai Ia menyerahkan nyawa-Nya bukan untuk hal-hal fana di dunia yang bisa hilang. Seperti peladang yang melepaskan segala yang dimilikinya untuk bisa memperoleh harta terpendam, marilah kita lepaskan keterikatan dengan dunia agar kita bisa memperoleh kekayaan Kerajaan Surga.
Jika kita memburu Tuhan dengan sungguh-sungguh, kita akan sadar bahwa untuk
memperoleh kekayaan dalam Kristus kita layak melepaskan segalanya.

Wednesday, September 14, 2011

Perjalanan Waktu


Oleh : Pdt.Dr.Erastus Sabdono
From : Truth Daily Enlightenment

Baca: Pengkhotbah 3:1–8
Alkitab dalam setahun: 2 Tawarikh 28–31

Pengkhotbah mengingatkan bahwa segala sesuatu ada waktunya. Tetapi sekalipun puisi ini terdengar indah, dalam tulisan di bahasa aslinya, yang ditekankan penulisnya adalah, hidup ini monoton, penuh rutinitas yang membosankan. Jika kita terjebak dalam rutinitas dan membiarkannya berlalu begitu saja, kita mudah lupa bahwa perjalanan waktu tak bisa dicegah dalam hidup ini. Jebakan rutinitas inilah yang membuat orang meremehkan realitas perjalanan waktu, sehingga lupa bahwa dirinya adalah makhluk kekal. Manusia disibukkan oleh rutinitas sehingga tidak berjaga-jaga menyongsong kekekalannya.
Sesungguhnya perjalanan waktu ini sesuatu yang pasti dan sedang berlangsung. Perjalanan waktu ini didendangkan oleh detak jantung atau denyut nadi kita, juga diiringi oleh detak-detak jam tangan dan jam dinding kita. Seharusnya setiap kali kita merasakan detak jantung dan denyut nadi, kita diingatkan bahwa kita ada dalam perjalanan waktu. Setiap kali kita mendengar detak jam kita, kita diingatkan bawa kita sedang ada dalam pengembaraan waktu yang akan berakhir. Sebagaimana baterai jam dinding yang akan habis suatu saat sehingga tidak akan mampu memutar jarum jam lagi, demikian pula suatu ketika organ tubuh manusia tidak akan mampu memutar jarum kehidupannya.
Harus diingat bahwa ini suatu hal yang pasti. Mari sesekali kita renungkan realitas ini dengan mengunjungi tempat-tempat masa kecil kita, Kita akan menyadari betapa cepatnya waktu ini berlalu. Rasanya baru kemarin kita masih bermain-main di suatu tempat, sekarang tempat itu sudah sangat jauh berubah. Ditambah lagi orang-orang yang dahulu kita kenal, sekarang sudah tinggal batu nisan. Coba amati foto-foto kenangan waktu kita masih kecil. Tak disangka, tiba-tiba rambut kita sudah beruban. Begitu cepat waktu ini berlalu. Berjalan terus tanpa kompromi. Tidak ada seorang yang dapat menghentikannya.
Perjalanan waktu itu tidak menjadi masalah, kalau tidak ada ujungnya. Jika ada ujungnya pun tidak menjadi masalah, kalau tidak ada pertanggungjawaban. Namun Ternyata perjalanan waktu kita ada ujungnya, dan di ujung itu ada pertanggungjawaban. Firman Tuhan menyatakan bahwa kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat (2Kor. 5:10). Maka betapa pentingnya mengisi perjalanan hidup ini dengan bijak agar kita dapat memperoleh upah yang sepatutnya di hadapan takhta pengadilan Kristus.
Karena di ujung perjalanan waktu kita ada pertanggungjawaban,
mari belajar hidup dengan bijak.