Sunday, December 4, 2011

Nyanyian Kematian

Oleh : Pdt.Dr.Erastus Sabdono.
From : Truth Daily Enlightenment

Baca: Yohanes 15:13
Alkitab dalam setahun: Wahyu 17–19
Bayangkan, Anda sedang tergeletak di ruang ICU (Intensive Care Unit) di rumah sakit. Nafas Anda hanya tinggal sepotong saja; artinya untuk bernafas pun harus menggunakan alat bantu. Tidak ada lantunan musik klasik atau lagu pop. Kalaupun ada nyanyian, yang terdengar adalah nyanyian kematian. Seakan-akan penghuni ruangan ICU tersebut sedang mempersiapkan suatu paduan suara bersama dalam senandung nyanyian kematian. Terdengar suara monoton alat-alat medis yang tengah menopang nyawa orang-orang yang sedang sekarat, termasuk Anda. Dingin, tegang, mengerikan.
Anda tidak bisa membedakan kapan siang kapan malam; yang Anda tahu, bila malam tiba semua menjadi senyap. Tidak ada lagi hilir mudik orang-orang yang datang membusuk untuk melawat dan mendoakan mereka yang sakit. Kalau malam tiba hanya terdengar sesekali suster dan dokter berbicara perlahan setengah berbisik; terdengar langkah sandal yang diseret. Itu pasti langkah suster atau dokter. Kadang-kadang terdengar langkah kaki keluarga pasien yang menengok anggota keluarga mereka yang sakit di tengah malam. Semakin malam, suasana lebih senyap lagi, seakan-akan Anda sudah ada di kuburan. Menengok ke kanan dan ke kiri hanyalah ranjang-ranjang pasien yang bernasib sama dengan Anda. Tak terpikir adanya televisi yang menayangkan sinetron berseri yang selama ini menemani Anda sebelum terlelap tidur ketika Anda masih sehat. Kalau penciuman Anda masih berfungsi, yang tercium hanyalah bau khas ruang rumah sakit yang sarat obat-obatan. Tidak ada wangi parfum atau aroma kopi hangat.
Dokter sudah memberi isyarat kepada keluarga bahwa sudah tidak ada harapan bagi keadaan Anda. Nyawa Anda tidak lebih dari beberapa hari atau bahkan hanya tinggal beberapa jam, oleh karenanya dokter menyarankan agar keluarga bisa dikumpulkan. Barangkali Anda masih bisa merasakan kehadiran keluarga di sekitar Anda, tetapi sudah tidak mampu menggerakkan anggota tubuh sama sekali. Kalau bisa berbicara, Anda ingin berkata, “Temani aku, temani aku.” Tetapi suara itu tidak akan terdengar sebab mulut pun sedang dipenuhi selang ventilator.
Akankah pada waktu seperti itu kita mengingat Sahabat kita yang bernama Yesus Kristus, yang sudah mati untuk kita? Masih mampukah kita berkata, “Tuhan, Engkau sahabatku. Temanilah aku”? Dan apakah saat-saat terakhir itu menjadi saat yang mengerikan atau saat yang menyenangkan, sebab kita tahu akan melihat Sahabat Sejati kita itu? Itu harus kita renungkan mulai sekarang.

Saat nyanyian kematian terdengar, kita tahu bahwa Sahabat Sejati kita menemani.