Monday, November 22, 2010

Doa Bukan Suatu Kewajiban


Oleh Pdt.Bigman Sirait
 
SETIAP orang Kristen pasti tahu berdoa, terlepas dari faktor apakah yang bersangkutan tidak mau atau malu ketika diminta untuk berdoa. Namun pada dasarnya semua orang bisa berdoa dan mengetahui apa itu doa. Doa tidak bisa lepas dari hidup orang benar. Persoalannya, apakah kita mengerti makna yang sesungguhnya dari doa? Ini pertanyaan yang serius, sebab jika diminta berdoa, yang kita lakukan adalah melipat tangan, menutup mata dan berkata-kata, tetapi tidak jelas apa sebenarnya yang ada dalam benak atau hati kita.

Apakah doa? Pertama-tama kita harus ingat bahwa doa bukan sebuah kewajiban. Artinya, doa itu hukumnya tidak wajib. Doa itu bukan suatu keharusan. Membaca kalimat di atas, kemungkinan besar kita rada tersentak, karena selama ini kita semua yakin bahwa yang namanya orang Kristen harus dan wajib berdoa. Tapi saya mengatakan, doa bukan kewajiban, bukan pula keharusan! Kalau doa sebuah kewajiban, maka suka atau tidak suka kita akan selalu berdoa. Jika kita berdoa sekalipun hati tidak suka, ini sesuatu yang gawat, sebab kita munafik.
Jika kita berdoa hanya karena kewajiban: lipat tangan, tutup mata, dan berkata-kata, apakah Tuhan pasti menerima? Tidak. Tuhan berkata, “Janganlah kamu berdoa seperti orang munafik, yang mengucapkan doanya, berdiri di mana-mana, tetapi hatinya tidak tahu ke mana”. Dengan kata lain, orang-orang seperti di atas melakukan doa hanya sebagai kewajiban ritual kekristenan. Bukan itu doa yang dimaui Tuhan.

Jika doa suatu keharusan, berarti ada unsur terpaksa. Jika doa hanya suatu kewajiban, maka ada peluang orang berdoa dengan hati yang terpaksa, bukan dengan hati rela. Jadi, doa adalah sebuah kebutuhan yang ada pada diri setiap manusia. Orang percaya diberikan kerinduan itu oleh Tuhan. Orang percaya selalu punya kehausan: butuh akan Allah. Sama seperti kita butuh makan, tidak perlu diajari untuk itu. Bayi yang belum bisa ngomong tahu minta makan, dengan menangis. Tangisan itu secara otomatis akan timbul jika sang bayi merasa lapar. Semakin dia dewasa, dia tidak perlu menangis lagi. Kalau lapar, dia cari makan sendiri. Makan adalah suatu kebutuhan yang tidak perlu diajarkan. Makan adalah suatu kebutuhan yang dilakukan dengan kerelaan, wong kita memang butuh kok. Tetapi kalau makan suatu kewajiban, celakalah kita. Kita tidak enjoy, tidak tenang, karena terpaksa. Tetapi karena makan sebuah kebutuhan, kita pun menikmatinya. Maka doa adalah sebuah kebutuhan bagi orang percaya, yang tidak bisa tidak harus ada. Doa harus ada. Tanpa doa kita tidak mungkin hidup. Tanpa doa kita akan mati.
Doa adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi, yang harus kita lakukan. Dan suatu
kebutuhan tidak pernah dilakukan dengan terpaksa. Kebutuhan dilakukan dengan sikap enjoy, menyenangkan. Bahkan kebutuhan itu akan kita cari sendiri. Kalau kita sadar doa adalah suatu kebutuhan, pasti kita tidak akan pernah berhenti berdoa, bukan? Kita akan sangat suka berdoa dan melakukannya dengan penuh sukacita, bukan karena terpaksa. Doa bukan pula suatu tradisi, yang dilakukan karena memang sudah begitu dari dulu. Misalnya doa pada waktu makan bersama keluarga di rumah. Kenapa kita berdoa sebelum makan? Untuk bersyukur. Tapi, jika kita makan permen atau minum teh botol di kantin misalnya, apakah kita berdoa? Kalau memang berdoa adalah mengucap syukur karena ada makanan, apakah permen bukan makanan? Jawabannya bisa menjadi sangat ironis dan lucu. Sebenarnya, kalau mau jujur banyak di antara kita berdoa waktu makan karena tradisi, bukan suatu kesadaran. Tetapi kalau betul-betul mau mengucap syukur, apa pun yang kita makan atau minum, harus lebih dahulu mengucapkan syukur. Jika sedang makan di restoran atau pinggir jalan, mungkin kita tidak perlu melipat tangan, tapi paling tidak bisa mengatakan, “Terimakasih Tuhan untuk permen ini.”
Doa juga bukanlah perilaku kristiani, sebab semua penganut agama melakukannya, sebagai kewajiban. Jika kita sebagai orang Kristen berdoa hanya karena kewajiban, lalu apa bedanya kita dengan mereka? Jadi, doa bukanlah perilaku kristiani yang harus kita lakukan karena kita Kristen. Tetapi doa adalah sebuah kehidupan.

Doa itu merupakan warna dominan dari perjalanan hidup orang Kristen. Mengapa? Karena yang
pertama tadi, doa adalah sebuah kebutuhan, yang harus dipenuhi. Mungkin, saat melipat tangan, tutup mata, dan berkata-kata, kita menganggap kalau kita sedang berdoa, namun sebenarnya tidak, sebab Tuhan tidak mendengar suara hati, kecuali suara mulut kita. Jika sudah demikian, kita akhirnya terjebak pada konsep yang salah. Ingat, doa bukan sekadar susunan kata yang indah, panjang dan puitis. Kalau suara mulut berbeda dengan suara hati, kita tidak sedang berdoa, tapi sedang berbasabasi, dan mencoba menipu Tuhan dengan kalimat-kalimat indah. Apakah Tuhan senang? Tidak. Kita harus selalu berhati-hati karena Tuhan tahu isi hati kita.

Doa juga bukan suatu mantera yang jika diucapkan berkali-kali akan terwujud. Banyak orang Kristen membuat doa seperti mantera, menekankan apa yang dia mau, bukan yang Tuhan mau. Jika doa menjadi semacam mantera, si pendoa menjadi seperti dukun yang membaca-baca mantera. Doa bukan kata-kata magis. Doa adalah ungkapan hati yang murni dari seorang anak Tuhan yang menyuarakan suara hati lewat mulut, yang tidak berbeda antara apa yang diucapkan dengan yang terkandung di dalam hatinya.

Puasa Bukan Ibadah


Oleh : Pdt.Bigman Sirait

Puasa – suatu aktivitas menghindari makanan dan minuman dalam jangka waktu tertentu, dikenal pada hampir semua agama. Pertengahan bulan ini misalnya, umat Islam memasuki bulan Ramadhan, saat di mana mereka menunaikan salah satu kewajiban agamanya: berpuasa sebulan penuh. Selama menjalankan ibadah agama itu, mereka harus mengekang segala hawa nafsu dari mulai matahari terbit hingga terbenam. Artinya
mereka tidak boleh makan-minum-merokok-melakukan kontak badan (bagi suami-istri), bahkan mengumbar emosi.
Bagaimana pemahaman puasa dalam kekristenan? Dalam Perjanjian Lama (PL) puasa dianggap sebagai wujud penyesalan, pengakuan dosa, perkabungan, dan pola hidup saleh. Namun dalam Perjanjian Baru (PB), puasa seperti ini dinilai sebagai paradigma lama. Puasa dalam PB dimulai oleh Yesus di padang gurun selama empat puluh hari empat puluh malam. Tetapi dalam Matius 4 dikatakan, Yesus dibawa oleh Roh ke padang
gurun untuk dicobai Iblis. Yesus berpuasa bukan untuk menunjukkan hidupnya yang saleh, bukan pula sebagai wujud penyesalan, juga bukan untuk perkabungan atau pengakuan dosa. Usai berpuasa, Dia mulai dicobai oleh iblis. Tetapi perhatikan, Yesus berhasil mengatasi godaan-godaan iblis itu bukan karena Dia berpuasa, tetapi karena Dia selalu memakai firman Allah untuk menjawab tantangan iblis. Firman Allah-lah yang
memenangkan Yesus, bukan puasanya. Yesus menjawab godaan iblis dengan firman Allah. Contoh, pada waktu iblis mengatakan, “Bukankah Engkau anak Allah? Perintahkanlah batu-batu ini supaya menjadi roti.” (Iblis tahu, saat itu Yesus lapar setelah berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam.) Tetapi apa jawab Yesus? “Ada tertulis, manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari
mulut Allah.” 
Jadi – sekali lagi – bukan karena puasa maka Yesus menang atas godaan, tetapi karena dia memakai firman Allah. Dalam Kisah Para Rasul 13 diungkapkan bagaimana para rasul berpuasa. Ayat 2
berbunyi demikian: Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus… (Perhatikan kalimat: ‘pada waktu mereka beribadah dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus…’). Jadi Roh Kudus datang dan bicara pada waktu mereka ibadah dan puasa. Tetapi bukan karena mereka puasa menyebabkan ibadah mereka menjadi lebih kuat sehingga Roh Kudus datang, tetapi Roh Kudus mau datang dalam kondisi mereka berdoa dan berpuasa. Yesus mengkritik orang Parisi yang berpuasa, karena yang dikehendaki Dia bukan puasanya tetapi sikap hati.
Mengapa sikap hati menjadi penting? Karena memang sikap hati menjadi kunci daripada ibadah. Ibadah yang sejati adalah mempersembahkan seluruh hidup/diri kepada Tuhan. Dalam pasal 13 tadi ibadah dan puasa itu mempunyai dua penekanan yang lain: beribadah dan berpuasa. Artinya, puasa bukan sebagai ibadah. Berpantang kawin, berpantang makan, dalam rangka melatih diri supaya lebih suci dan murni, adalah ajaran asketis. Rasul Paulus mengatakan, latihan badani terbatas gunanya. Latihan badani di sini mengacu pada apa yang disebut dengan puasa tadi. Puasa adalah suatu latihan badani, supaya bisa mengendalikan emosi misalnya. Dan aktivitas pelatihan diri seperti itu memang sedang terjadi pada jemaat pada waktu itu. Orang-orang penganut ajaran asketis itu sangat menekankan pada prinsip-prinsip seperti itu, dan mereka adalah orang-orang Yahudi yang mempertahankan paradigma lama dari puasa, dibawa kepada konsep PB. Sehingga Paulus mengatakan bukan itu tujuannya, tetapi ibadah: ibadah yang berpusat kepada Kristus! Jadi Paulus tidak pernah menempatkan puasa lebih penting daripada ibadah atau doa, bahkan dia melihat puasa itu sebagai latihan badani yang terbatas gunanya. 

Kalau ada pertanyaan: Bolehkan berpuasa? Jawabnya, tentu saja boleh. Sebab puasa itu merupakan suatu latihan badani yang cukup baik. Puasa melatih mengendalikan emosi. Tetapi yang perlu dimengerti, puasa tidak pernah bisa menentukan kualitas iman seseorang, karena kualitas iman ditentukan oleh hubungan pribadi dengan Tuhan. Puasa tidak pernah menentukan kekuatan doa kita, karena kekuatan doa ditentukan oleh sikap kita kepada Tuhan. 

Jadi, bedakan antara puasa dengan ibadah. Puasa hanya merupakan suatu latihan badani yang baik, yang mungkin bisa menolong. Tetapi awas, jangan jadikan itu ukuran tingkat kerohanian. Itulah puasa dengan paradigma baru yang diajarkan Alkitab. Doa jauh lebih penting dibanding puasa, bukan sebaliknya. Doa tidak bergantung pada puasa. Itulah sebabnya para rasul banyak membicarakan dan mengajarkan hal berdoa, tetapi
tidak pernah mereka mengajarkan berpuasa. Mereka memang menunjukkan bahwa mereka berpuasa, tetapi tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan untuk berpuasa, yang mereka ajarkan adalah berdoa. Yesus sendiri mengajarkan ‘Doa Bapak Kami’. Tetapi Dia mengkritik orang-orang Parisi yang berpuasa.
Bolehkah menggabungkan doa dengan puasa? Boleh, tetapi harus diingat, tidak berarti dengan berpuasa maka doa menjadi lebih ampuh, tetapi sikap hati, itulah yang menentukan. Yakobus 5:16 mengatakan antara lain:…Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya. Bukan: doa orang yang berpuasa itu besar kuasanya. Puasa dengan paradigma baru memang perlu kita pahami, supaya orang jangan salah mengerti tentang kekristenan. Sebab tidak sedikit orang Kristen berpuasa menurut/meniru cara-cara agama lain. Ini jelas keliru, sebab memang konsep Injil tentang puasa bukan seperti itu. 

Jadi kalau mau berpuasa, lakukanlah sesuai dengan yang dikatakan Alkitab, dengan paradigma baru.Puasa adalah suatu latihan badani yang bisa saja cocok bagi seseorang, tetapi belum tentu cocok untuk orang lain. Puasa bukan suatu keharusan. Alangkah baiknya memang, kalau Anda bisa berpuasa. Sebaliknya, janganlah menilai orang yang tidak berpuasa karena sakit maag dan sebagainya sebagai kurang rohani, dan kurang baik.Dan jangan memaksakan diri berpuasa seakan-akan itu hal yang sangat penting, padahal Anda sebenarnya tidak rela. Jangan berpuasa hanya karena tuntutan hidup yang suci, sampai menahan lapar, yang bisa membuat Anda malah menjadi batu sandungan, bukan lagi menjadi berkat. Jangan ulangi kesalahan orang-orang Parisi yang sampai dikritik oleh Yesus.