Friday, December 17, 2010

Yang Merendahkan Hati, akan Ditinggikan


Oleh : Pdt.Bigman Sirait

Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa
meninggikan diri, ia akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan
ditinggikan. (Matius 23:11-12)

Dari segi tata bahasa, kata “rendah” adalah antonim (lawan) dari “tinggi”.
Dalam pengertian bahasa dan kehidupan sehari-hari, kedua kata di atas jelas berbeda.
Dan perbedaan semacam ini cukup banyak mewarnai Alkitab. Di sini kita dapat melihat adanya perbenturan yang sangat dahsyat antara nilai yang ditetapkan oleh Yesus dengan nilai yang diterapkan oleh dunia. Perbenturan semacam ini sebenarnya tidak menyenangkan bagi banyak kalangan, termasuk para ahli Taurat yang merasa memiliki nilai tersendiri. Kalimat di atas muncul ketika Yesus mengkritik orang-orang Farisi dan ahli Taurat.

 Mereka memang mengajarkan Taurat tentang kebenaran, mengajarkan supaya setiap orang berperilaku benar. Namun, perilaku mereka sendiri tidak benar. Mereka tidak melakukan hal-hal yang semestinya mereka lakukan sebagai konsekuensi pengajaran mereka. Artinya mereka telah berbuat kesalahan. Tragis, khotbah yang mereka sampaikan tidak lebih hanya berupa konsumsi yang diberikan mulut ke kuping. Tingkah laku mereka sehari-hari berlawanan dengan isi  khotbah mereka. Ini tentu saja suatu penipuan, penyelewengan, yang tidak disukai oleh Tuhan.

Mereka ingin menempatkan diri sebagai Musa pada jaman mereka. Mereka menempatkan diri menjadi tinggi, hebat, luar biasa melebihi siapa pun. Yang lebih parah, mereka juga sudah menempatkan diri sebagai wakil Tuhan. Maka terjadilah penekanan para pemimpin agama terhadap umat. Tidak heran, jika banyak umat menjadi bodoh, karena tidak mau mencari kebenaran Allah, tetapi hanya mau mengarahkan telinga ke khotbah-khotbah yang seringkali tidak benar. Kondisi semacam ini benar-benar mengerikan, apalagi umat sendiri pun kelihatannya kurang bergairah dalam membaca Alkitab dengan kritis dan teliti. Umat menjadi korban yang mudah di-ninabobo-kan oleh berbagai kepalsuan. Umat tidak lagi selektif atau sensitive untuk memperhatikan ayat demi ayat, kata demi kata.

 Dengan menempatkan diri sebagai rabbi, para ahli Taurat juga menempatkan diri sebagai pusat segalanya, yang tahu segalanya. Artinya mereka meninggikan diri dengan merebut porsi Allah, dengan segala kepongahan. Dengan sikap seperti itu, mereka telah bermusuhan dengan Allah. Sebab Allah sangat benci terhadap orang yang sombong, pongah, yang hanya gemar meninggikan diri. Dalam doanya pun, mereka hanya menonjol-nonjolkan dirinya di hadapan Tuhan. Sebaliknya orang lain  dijelek-jelekkan, seperti bunyi salah satu doa berikut: “Tuhan, beruntunglah aku. Aku seorang ahli Taurat, Farisi, yang seminggu berpuasa dua kali, tidak seperti si pemungut cukai yang berdosa itu…” Jebakan-jebakan keagamaan memang mengerikan. Karena itu hati-hatilah agar jangan sampai membuat suatu pengakuan sepihak bahwa kita adalah yang terbaik. Jangan sampai seperti ahli Taurat yang karena merasa dirinya paling suci, paling hebat, paling jago, malah berusaha merebut kekuasaan Allah. Dan karena itulah Tuhan memperingatkan, “Barangsiapa meninggikan dirinya, dia akan direndahkan.” Sebaliknya, berbahagialah mereka yang merendahkan dirinya.

 Merendahkan diri bukan berarti menempatkan diri lebih rendah dengan membungkukkan badan, misalnya. Merendahkan diri yang dimaksudkan di sini menyangkut sikap hati yang takluk pada kebenaran Allah, tunduk dan menyadari diri sebagai orang berdosa. Status seperti ini sangat penting kita miliki. Ketika orang dekat dengan Tuhan, kesadarannya sangat tinggi. Hal seperti ini juga pernah dialami oleh Petrus. Saking merasa sangat rendah di hadapan Tuhan, dia malah meminta agar Tuhan menjauhinya, “Tuhan, menjauhlah dariku, orang berdosa ini.” Sementara orang yang pongah dan besar kepala justru mengangkat diri dan senantiasa berbuat dosa. Saat berbuat dosa pun dia sudah tidak sadar. Jika dinasihati, malah marah. Akhirnya dia semakin dalam terperosok ke dalam kesombongan, merasa diri sebagai orang yang paling hebat, paling baik. Lucifer, malaikat yang membuat dirinya sama dengan Allah, akhirnya dibuang dari surga.

 Nasib sama menimpa Adam dan Hawa. Karena ingin sama dengan Allah, keduanya diusir dari Taman Eden. Oleh karena itulah, setiap orang Kristen seharusnya mencerminkan suatu kerendahan hati. Wujud kerendahan hati seorang kaya bukan dengan cara mengenakan pakaian sederhana. Kerendahan dalam konteks ini menyangkut sikap hati, bukan bagaimana penampilan diri. Suatu kesadaran bahwa diri kita bukanlah apa-apa, merupakan salah satu wujud kerendahan hati. Jika seseorang menyadari kalau dirinya bukan apa-apa, maka apa pun yang ada padanya bukan dianggap sebagai miliknya.

 Maka pengendalian diri dari dalam, menjadi sesuatu yang paling penting. Dalam dunia kerja, kita sebagai pekerja pun seharusnya menyikapi ini semua dengan kesungguhan yang utuh. Nikmati apa yang ada, yang Tuhan berikan. Kita tidak perlu berpura-pura merendahkan diri dengan mengenakan pakaian compangcamping ke kantor. Kalau kita memang bisa, kenapa tidak memakai pakaian yang bagus? Tidak perlu memakai sandal jepit jika kita sanggup beli sepatu. Tetapi jangan pula membeli pakaian bagus dari tumpahan darah atau keringat orang lain. Sekali lagi, bukan penampilan luar yang berbicara tentang kerendahan hati, tetapi sikap hati. Sehingga kita merasa lebih bukan karena punya banyak uang, bukan pula karena kita
punya jabatan. Sebaliknya, kita merasa kurang bukan lantaran tidak punya uang, atau tidak punya jabatan. Tetapi yang penting, lebih atau kurangnya kita dalam kehidupan,kita perlu senantiasa menanyakan apakah kita dekat dengan Tuhan? Jika kita dekat dengan Tuhan, DIA-lah nilai lebih kita. Sebab kalau kita bersama Tuhan maka DIA akan mengangkat kita. Jikalau kita bersama dengan Tuhan, DIA akan meninggikan kita. Karena kebenaran, kita direndahkan. Oleh kebenaran pula kita akan ditinggikan. Oleh karena kebenaran kita diangkat oleh Tuhan. Tetapi
barangsiapa meninggikan diri melewati kebenaran, dia akan direndahkan. Jika mendapat penghinaan, atau direndahkan, puji Tuhan. Itu kesempatan untuk merendahkan hati, bukan untuk merendahkan diri. Tetapi jika kita kecewa atau marah terhadap tekanan, berarti kita telah membuang harta benda yang luar biasa nilainya. Kesempatan seperti itu ibarat mutiara yang terindah, pemberian Tuhan. Jadi jangan dibuang. * (Diringkas dari Khotbah Populer oleh Hans P.Tan)