Friday, March 27, 2009

Alangkah Indahnya Hidup Rukun


Alangkah Indahnya Hidup Rukun

Artikel oleh : Pdt.Dr.Erastus Sabdono.


Rukun adalah kata yang sudah sangat akrab ditelinga kita. Kata ini diakui sebagai bagian integral dari budaya moral bangsa kita. Kita agungkan dan promosikan diantara bangsa-bangsa di dunia sebagai ciri dari bangsa Indonesia. Sejarah mencatat, kerukunan juga bagian dari tiang penyangga kejayaan Majapahit pada abad 14 sehingga mampu mempersatukan Nusantara termasuk Timor Timur dan kalimantar Utara. Bahkan sampai jazirah Malaka kekuasaan kerajaan di pulau Jawa ini diakui. Kendati para pejabat kerajaan memiliki keyakinan agama yang berbeda, namun mereka mampu berkonsolidasi membangun negara yang tangguh. Menurut manuskrip Cina Wang Taywan (Tahun.1369), Majapahit dikenal sebagai kerajaan yang berwilayah luas, rakyatnya hidup makmur, para pemeluk agama yang berbeda hidup berdampingan dengan harmonis. Kejayaan dan kemegahan negeri ini ternyata gemanya sampai pulau-pulau dan negeri yang jauh. Dengan kerukunan ini pula para pejuang bangsa mampu mengusir penjajah hanya dengan senjata sederhana seperti bambu runcing parang dan golok sekalipun harus berhadapan dengan senjata modern Barat. Kerukunan inilah yang menciptakan atmosfir sorga ditengah-tengah keluarga, masyarakat bangsa dan negara. Benarlah kalimat dalam bahasa jawa yang berbunyi : Rukun agawe sentosa (kerukunan membuat keteguhan). Sungguh sangat memilukan kalau hari ini kita menemukan kenyataan keadaan negeri tercinta ini sangat jauh dari harapan dan impian para pendiri bangsa. Keadaan yang sangat kontradiksi dari cita-cita proklamasi dan kerinduan kusuma bangsa yang telah gugur. Beberapa bagian dari negara ini telah terkoyak-koyak oleh sikap saling curiga, saling membenci sehingga berbuah pertikaian, pembunuhan teror dan dendam berkepanjangan. Hal ini bukan saja merusak tatanan hidup masyarakat hari ini, tetapi juga meletakkan dasar kehancuran bagi generasi penerus di waktu mendatang. Keadaan ini tidak boleh berlangsung terus. Bila keadaan ini berlarut-larut maka akan menggiring lebih banyak orang keluar dari koridor hukum dan etika kemanusiaan serta menciptakan nuansa hidup “homo homini lupus”. Kita harus hentikan. Sebagai bagian komponen bangsa yang besar ini, kita harus mengambil langkah nyata guna mengembalikan bangsa ini kejalur yang benar. Malam ini kita merayakan Natal dengan tema “Alangkah indahnya hidup rukun”. Tema yang manis terdengar, tetapi rasanya jauh dari jangkauan. Namun demikian kita bertekad untuk mewujudkan dan menterjemahkannya dalam perilaku secara benar. Mengaplikasikan dalam hidup ini secara kongkrit. Sebab setiap kali kita merayakan Natal selalu disertai tema Natal yang ditulis dengan huruh besar di belakang panggung dan mimbar atau dalam buku acara. Didalamnya memuat harapan dan ajakan. Tetapi setelah sekian banyak kita merayakan Natal apakah yang kita peroleh melalui perayaan Natal dengan tema-tema indah tersebut. Ironis sekali, walau Natal diwarnai dengan tema, setumpuk pesan, tetapi bayak Natal berlalu tanpa kesan. Tidak sedikit perayaan Natal datang tidak menambah dan pergi tidak mengurangi kerohaniaan seseorang. Kelahiran Juru Selamat di Bethlehem merupakan damai sejahtera atau syalom bagi semua bangsa. Malaekat di padang Efrata bersyair: “Damai di bumi diantara manusia yang berkenan kepadaNya (Luk 2:14). Yesuslah damai sejahtera semua kaum di muka bumi ini. Didalam damai sejahtera itu terdapat hubungan yang dipulihkan yaitu sebuah rekonsiliasi agung antara manusia berdosa dengan Allah yang Maha kudus, sebab kedatanganNya menjadi jembatan hubungan yang telah runtuh antara Alah dan manusia. Itulah sebabnya Yesus berkata: “Akulah jalan kebenaran dan hidup”. Dalam damai sejahtera itu pula ada hubungan antar manusia yang juga dipulihkan. Mustahil ada pemulihan hubungan antara Allah dan manusia tanpa pemulihan hubungan antar manusia itu sendiri. Sebab pulihnya hubungan antara Allah dan manusia ditandai dengan pulihnya hubungan antar manusia. Semangat Natal sesungguhnya sebuah sebuah gelora pemulihan hubungan, tentunya didalamnya terdapat jiwa atau nafas kerukunan yang sejati. Kerukunan yang sejati, bahasa lain dari “kasih Allah” yang telah diterima dan diajarkan kepada umat pilihanNya. Sebagai anak Tuhan atau umat pilihan Allah yang telah menerima berkat Natal seharusnya kita membagikan nafas dan jiwa kerukunan ini kepada semua manusia. Jadi kerukunan yang menciptakan perdamaian ini bukan sekedar karunia tetapi juga tanggung jawab. Kerukunan dengan orang lain bukan anugerah tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan, digumuli dan diwujudkan. Disinilah kita menemukan tanggung jawab orang percaya sebagai “terang dan garam dunia”. Dalam Matius 5:9, berbunyi berbahagialah mereka yang membawa damai, karena akan disebut anak-anak Allah. Dalam ayat ini terdapat signal atau isarat yang jelas bahwa orang percaya harus menebar benih-benih perdamaian. Orang percaya harus menoreh kerukunan yang melukis perdamaian ditengah-tengah masyarakatyang majemuk ini. Tentu kerukunan dimulai dalam rumah tangga kita, melebar di lingkungan pekerjaan, antar sesama politisi serta antar sesama bangsa Indonesia yang majemuk dan yang sekarang kompleksitas masalahnya makin tinggi, yaitu dengan adanya krisis multidemensional atas bangsa ini. Kita tidak boleh hanya menantikan anugerah kerukunan tercipta tanpa usaha kita. Sebagaimana Kristus datang membawa damai. Ia telah mengupayakn damai tersebut. Kita dipanggil untuk mengusahakan damai dalam kiprah kita di gelanggang partai politik di negeri ini. Sebab memang “terang Allah” harus menembus setiap wilayah hidup, juga di gelanggang politik. Oleh sebab itu Politik tidak boleh kita identikkan dengan wilayah setan. Politik juga harus menjadi wilayah kerajaan Allah yang dilebarkan. Melalui gelanggang ini kita kita turut berperan dalam mewujudkan Indonesia yang damai bersatu hidup rukun. PDIP yang memeluk semua lapisan masyarakat dan golongan kiranya dapat menjadi kendaraan anak-anak Tuhan mengobarkan nafas kerukunan. Kita menghadapi godaan begitu banyak. Dari dalam diri manusia pada umumnya dorongan egoisme, mau menang sendiri, melihat kepentingan sendiri tanpa melihat kepentingan bersama yang lebih besar. Dipihak lain kita dapati realitas adanya kekuatan-kekuatan yang berusaha mencabik-cabik keutuhan bangsa ini. Kerukunan ini menjadi tanggung jawab kita semua, tugas bersama, khususnya bagi anak-anak Tuhan yang berkiprah di partai yang berlambang kepala banteng ini. Banyak masyarakat negeri ini memiliki harapan atau kalau boleh digunakan kata lain yaitu “tuntuntan” kepada pemenang pemilu terakhir ini sebagai partai yang menghentar bangsa ini ke Indonesia Baru yang “gemah ripah loh jinawi”, Indonesia yang makmur. Tetapi bagaimana ada kemakmuran tanpa kerukunan. Oleh sebab itu kerukunan harus merupakan agenda utama yang harus kita upayakan dengan seksama dan serius. Kerukunan harus dimulai dari tubuh PDIP selanjutnya meluas sampai kepada semua komponen bangsa yang harus bahu membahu berkonsolidasi sinergi membangun negara yang tangguh. Bila kita sebagai anak-anak Tuhan berperan serta mewujudkan kerukunan tersebut maka kita telah turut menggenapi doa Tuhan Yesus: Datanglah KerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga.


Note : Penulis adalah gembala sidang di GBI Rehobot dan ketua Seminari Bethel Petamburan, Beliau sangat tegas dalam menyampaikan Firman Nya di berbagai media seperti Suara kebenaran di Radio Pelita Kasih, Indovision, maupun berbagai artikel majalah rohani (Truth, Reformata dll.), Tuhan Yesus memberkati pelayanan Pak Erastus Sabdono, amin.