Wednesday, March 18, 2009

Warisan Calvin Bagi Gereja Masa Kini


Warisan Calvin Bagi Gereja Masa Kini

Oleh Pdt. Juswantori Ichwan, M.Th
Laporan dari WARC Calvin Consultation of Senior Pastors (CCSP)Jenewa, 13-18 Oktober 2008
Pada tanggal 13-18 Oktober 2008,

WARC (World Alliance of Reformed Churches) mengundang para Pendeta dari berbagai negara anggotanya untuk membicarakan hal-hal apa yang bisa dilakukan bersama sehubungan dengan peringatan 500 tahun Calvin di negara masing-masing. Peringatan 500 tahun kelahiran Yohanes Calvin akan jatuh pada 10 Juni 2009. WARC ingin memakai momen ini untuk memperkenalkan atau mempromosikan ide-ide Calvin yang masih sangat relevan untuk gereja di abad ke-21, namun sering terabaikan. Selama ini, pembicaraan soal Calvin dan Calvinisme selalu dihubungkan dengan isu-isu doktrinal seperti predestinasi, teologi TULIP, dan lain-lain. Padahal pemikiran/warisan Calvin yang sangat relevan bagi kehidupan dunia di abad ke-21 justru adalah pandangannya yang cemerlang tentang tata kehidupan sosial-masyarakat.Setidaknya ada tiga warisan pemikiran Calvin yang penting bagi gereja masa kini, yakni:

1. Memanifestasikan karunia kebersamaan (Making manifest the gift of communion)
2. Berkomitmen untuk keadilan (Covenanting for justice)
3. Mengatasi kekerasan dan kerusakan akibat perang(Addressing violence and destruction in

times of war and armed conflict.)

Berikut adalah uraian lebih rinci tentang ketiga hal tersebut.

1. Memanifestasikan karunia kebersamaan (Making manifest the gift of communion)

Calvin memandang persatuan gereja itu penting. Tiap orang percaya harus menjadi bagian dari gereja dan berperan aktif dalam kehidupan gereja. Ketaatan kepada Kristus dibuktikan dengan kesediaan untuk mengikatkan diri satu sama lain dan menumbuhkan relasi penuh damai di antara sesama. Jadi dalam paham Calvin, rekonsiliasi adalah sangat penting. Gereja dewasa ini semakin terpecah-pecah dan menuju fragmentasi yang lebih dalam. Ketidaksepahaman muncul karena perbedaan doktrin, liturgi, isu-isu spiritual dan etis, atau orientasi politik. Fragmentasi juga terjadi karena wawasan gereja-gereja Reformasi masih sering terbatas oleh konteks negara. Ketika umat sebuah gereja refromasi bermigrasi ke negara lain, misalnya, mereka selalu berupaya membangun gereja baru di negeri itu, sekalipun disana sudah ada gereja Reformasi yang memiliki akar bersama. Rupanya ikatan negara lebih kuat dari tradisi refromasi yang dianut bersama. Akibatnya, di Amerika misalnya, kini muncul gereja reformasi dari Skotlandia, Belanda, Jerman, Hungaria, Korea, Cina, Indonesia, dll. Gereja-gereja ini tidak bisa bersatu dan bekerjasama satu sama lain. Begitu juga lembaga-lembaga misi yang berbeda-beda di masa lalu (abad ke19 dan 20), ketika telah berhasil mendirikan gereja di wilayah kerjanya, mendirikan gereja dengan label nama yang berbeda-beda walaupun gereja-gereja itu ada di negara yang sama. Sikap ini muncul karena minimnya kesadaran/komitmen tentang gereja yang am (universal). “Teologi Gereja Lokal” seharusnya dilengkapi dengan “Teologi Gereja yang Universal.” Gereja Calvinis seharusnya mulai memanifestasikan karunia kebersamaan dengan meruntuhkan hambatan dan tembok antara manusia, negara, bahasa, ras, dan kelas.

Bagaimana hal ini dapat diwujudkan secara nyata?
- Tahun 2010, dua badan dunia yang membawahi gereja-gereja Reformasi, yaitu WARC dan
REC (Reformed Ecumenical Council) akan menyatu. Ini merupakan kontribusi nyata menuju
Gereja yang Universal.
- Sudah saatnya gereja-gereja Reformasi yang berada di satu kota (walaupun berbeda label
nama gerejanya) menjalin kerjasama. Momen Peringatan 500 tahun Calvin dapat dipakai
sebagai wadah untuk memulai atau menjembatani program kerjasama tersebut.
- Perjamuan Kudus hendaknya dilakukan lebih sering di lingkungan gereja-gereja Reformasi,
sesuai dengan cita-cita Calvin, untuk mengingatkan umat bahwa persekutuan gereja adalah
anugerah yang harus diakui oleh anggota tubuh Kristus. Perjamuan mempersatukan dan
memperlengkapi kita untuk peka memandang orang lain sebagai sesama tubuh Kristus.

2. Berkomitmen untuk keadilan (Covenanting for justice)

Panggilan terhadap keadilan sosial berulangkali diungkapkan Calvin dalam tulisan maupun tindakannya di kota Jenewa. Calvin memandang dunia ciptaan sebagai teater yang mencerminkan kemuliaan Tuhan, dan kita diundang untuk menghargai ciptaanNya. Kita terpanggil menjadi hamba-hamba yang bertanggungjawab atas ciptaan Tuhan. Seiring dengan kejatuhan manusia, tatanan ciptaan telah menjadi rusak oleh kekerasan. Muncullah ketidakadilan. Ada jurang yang menganga lebar antara si kaya dan si miskin. Manusia lalu memperbudak sesamanya. Di tahun 1964, teolog Swiss, Andre Bieler telah menyerukan agar negera kaya meningkatkan bantuan besar-besaran untuk menolong negara berkembang, mengingat saat itu negara-negara industri menggunakan 7% dari pendapatan nasionalnya untuk membeli senjata. Bieler berkata, jika 3% saja dari jumlah itu dipakai untuk menolong negara berkembang, jurang ketimpangan antara negara kaya dan miskin bisa diperkecil. Ide ini mengemuka dalam Sidang Keempat Dewan Gereja Dunia di Uppsala (1968). Gereja terpanggil untuk menyerukan keadilan sosial.Baru belakangan ini kita sadar bahwa keadilan sosial bukan hanya menyangkut soal ketimpangan kaya-miskin, melainkan juga menyangkut sikap manusia terhadap lingkungan. Kehadiran manusia seharusnya melestarikan ciptaan Tuhan lainnya, namun manusia malah merusak alam dan memunahkan hewan. Kini kita sadar bahwa sumber-sumber hayati di bumi makin terbatas. Kehadiran manusia makin merusak ekologi. Perubahan iklim telah menjadi kenyataan pahit yang harus kita hadapi. Dampaknya paling terasa di belahan bumi Selatan, yang makin rentan terhadap datangnya bencana banjir, angin topan, dll. Padahal negara-negara di belahan bumi selatan umumnya adalah negara berkembang yang belum memiliki sistem jaminan kesehatan yang memadai.Berdasarkan pemikiran Calvin yang menekankan perlunya komitmen pada keadilan, pada tahun 2004 WARC mengeluarkan Konfensi Akra (Accra Confession) dalam Persidangannya yang ke-24. Didalamnya ditegaskan bahwa:
- Gereja menolak tata ekonomi dunia yang dikendalikan oleh kapitalisme neo-liberal global atau
sistem ekonomi lainnya yang tidak memikirkan kepentingan orang miskin dan pelestarian
lingkungan.
- Gereja menolak budaya konsumerisme dan kerakusan yang kompetitif dan egois dari sistem
pasar bebas.
- Gereja menolak akumulasi kekayaan yang berlebihan dengan mengorbankan hidup jutaan
orang dan memusnahkan ciptaan Tuhan.
- Gereja menolak ideologi apapun yang menempatkan keuntungan (profit) di atas manusia
(people), juga ideologi yang tidak mempedulikan alam, dan menguasai sumber-sumber alam
yang Tuhan berikan bagi semua orang untuk kepentingan diri sendiri.

Bagaimana hal ini dapat diwujudkan secara nyata?
- Orang Kristen terpanggil untuk berupaya menurunkan konsumsi energi mereka dan
mendukung segala upaya di negara masing-masing untuk hemat energi.
- Orang Kristen dari negara industri perlu mengubah gaya hidup mereka agar menjadi lebih
ramah lingkungan. Emisi gas buang per orang per tahun seharusnya tidak boleh melebihi 1,8
ton CO2. Di negara maju seperti Amerika, emisi gas buang per orang telah mencapai 18 ton
CO2 per orang. Ini disebabkan karena lebih banyak orang di negara maju memakai jasa
transportasi udara atau darat yang menghasilkan banyak emisi gas buang.
- Menolong upaya-upaya untuk menyediakan sumber enegeri di negara-negara miskin dengan
sumber daya alam yang dapat diperbaharui.

3. Mengatasi kekerasan dan kerusakan akibat perang (Addressing violence and destruction in
times of war and armed conflict)

Calvin dengan tegas menolak perang sebagai cara Kristiani untuk menyelesaikan konflik. Terlibat dalam perang adalah melanggar kehendak Allah, karena menghasilkan pertumpahan darah dan penderitaan yang tak terperikan. Calvin memandang perang sebagai tindakan merusak gambar Allah dari muka bumi. Maka ia lebih menyarankan untuk bertahan dalam penderitaan/ penganiayaan ketimbang berperang dan membunuh. Dalam hal ini ia menekankan pentingnya menjaga kudusnya kehidupan. Dunia dewasa ini memiliki persenjataan perang yang menghancurkan: nuklir, senjata biologis, senjata kimia, dll. Kekerasan dan kerusakan akibat perang bukan hanya dialami oleh manusia, tetapi oleh semua mahluk ciptaan Tuhan. Berhadapan dengan penghancuran hidup dan lingkungan, negara-negara harus membangun pendekatan baru terhadap konflik dan penyelesaian konflik. Perdamaian harus diusahakan dan diperjuangkan.Peran gereja Calvinis dalam mengatasi kekerasan sudah nyata di sepanjang sejarah. Pemikiran Calvinis telah melandasi lahirnya Konvensi Palang Merah Jenewa (Geneva Red Cross Conventions) di tahun 1949, atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Jenewa. Konvensi yang dibuat setelah Perang Dunia Kedua ini menekanan perlunya melindungi manusia yang berada di masa perang dan konflik bersenjata. Konvensi Pertama membahas tentang perang di darat, Konvensi Kedua tentang Perang di lautan, Konvensi Ketiga tentang perlindungan tawanan perang, dan Konvensi Keempat tentang perlindungan terhadap penduduk sipil. Didalamnya ditetapkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang harus dihormati ketika terjadi perang. Hal ini juga menguatkan dasar bagi Palang Merah Internasional untuk beraktifitas di tengah konflik. Setelah terjadinya perang Vietnam, pada tahun 1977 ditambahkan dua protokol terhadap Konvensi Jenewa. Protokol Pertama menyangkut perlindungan terhadap alam/lingkungan. Dalam perang sekalipun, kerusakan yang luas terhadap lingkungan alam harus dihindari!

Bagaimana hal ini dapat diwujudkan secara nyata?
- Mensponsori simposium atau pertemuan-pertemuan yang membahas tentang pelestarian
lingkungan dan perlindungan terhadap korban perang, dengan melibatkan para politisi,
pengacara, dll.
- Membahas topik-topik di seputar kekerasan, perang, pelestarian lingkungan dalam khotbah.
Menghadiri pertemuan para pendeta gereja Reformed (CCSP) di Jenewa memberi banyak
inspirasi dan wawasan yang lebih utuh tentang Calvinisme.

Selain berdiskusi, peserta juga mendapat kesempatan untuk berbincang dengan pejabat teras Dewan Gereja Dunia (WCC) dan Federasi Gereja Lutheran Sedunia (LWF). Lebih menarik lagi, peserta juga diajak mengunjungi situs-situs bersejarah yang berhubungan dengan hidup dan pelayanan Yohanes Calvin. Peserta diajak melihat International Meseum of Reformation, tempat disimpannya karya-karya Calvin. Juga mengunjungi gereja tempat dulu Calvin memimpin ibadah dan mengajar. Saat menyusuri kota Jenewa, kita bisa mulai memahami betapa pemikiran Calvin telah mengubah tatanan masyarakat dunia menjadi lebih baik. Di Jenewa pernah hidup dua tokoh penting dunia. Pertama, Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), filsuf abad pencerahan yang karyanya (“Social Contract”) sangat mempengaruhi konsep modern tentang demokrasi. Ia menekankan pentingnya kebebasan dan kesamaan derajat dalam masyarakat modern. Kedua, Henry Dunant (1828-1910), pendiri Palang Merah Internasional. Keluarganya adalah orang-orang Calvinis yang taat dan sangat peduli pada pekerjaan sosial. Latar belakang ini mempengaruhi pemikiran Henry Dunant ketika mencetuskan perlunya diadakan sebuah organisasi yang netral untuk menolong para tentara yang terluka. Inilah cikal-bakal berdirinya Palang Merah Internasional. Kedua tokoh ini berkarya di kota Jenewa dan ide-ide mereka yang mengubah dunia dipengaruhi oleh pemikiran Calvinisme. Ini membuktikan betapa gereja Reformasi sejak semula telah terpanggil untuk berperan serta dan berkiprah bagi terciptanya keadilan dunia dan keutuhan ciptaan.

Pdt. Juswantori Ichwan