Sunday, April 12, 2009

Oikoumene dan masalah-masalah di sekitarnya (1)


Oikoumene dan masalah-masalah di sekitarnya (1)


Oleh: Pdt Budhiadi Henoch


PendahuluanGereja Kristen berasal dari Timur Tengah dan hadir di Indonesia sejak akhir abad XIV bersamaan dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa yang mencari rempah-rempah di Hindia Timur. Pada dasarnya gereja Kristen bersifat universal (meliputi umat manusia), tetapi juga partikular (bangsa dan suku bangsa). Karena itu kita mengenal gereja Kristen yang am (umum), yakni gereja yang meliputi bangsa-bangsa di dunia, di samping yang khusus misalnya Gereja Kristen Indonesia (nasional) dan gereja-gereja suku Batak, Toraja dan Minahasa. Kendati gereja-gereja suku itu pun membuka diri menerima anggota-anggotanya dari suku lain.
Dalam pengamalan kehidupan gereja, tugas gereja tak hanya mengurus urusan di sorga, sesudah orang meninggal dunia, tetapi juga mengurus urusan di dunia, selagi orang masih hidup sekarang ini. Itulah sebabnya, gereja juga terpanggil untuk ikut serta membangun bangsa, negara dan masyarakat, di mana gereja itu ditempatkan Tuhan. Keterlibatan dalam pembangunan benar-benar dinampakkan; kepedulian terhadap masalah kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan juga dinyatakan; sikap kritis terhadap masalah keadilan, pemerataan dan kesejahteraan ditampilkan, karena memang begitu seharusnya kehidupan gereja dan orang-orang Kristen yang menjadi anggotanya. Landasannya: pesan Tuhan Yesus, agar apa yang telah dilakukan-Nya dilanjutkan oleh para pengikut-Nya (Lukas 4:18-21; Yohanes 13:12-17).
Berikutnya, gereja Kristen bukan lembaga eksklusif atau isolatif, yang menutup diri dan tidak berhubungan dengan pihak-pihak lain, sebaliknya, bahwa gereja Kristen itu inklusif dan partisipatif, terhisap dan terlibat dalam menanggulangi problem-problem sosial kemasyarakatan bekerja sama dengan pihak-pihak lain, baik pemerintah, maupun kelompok-kelompok masyarakat yang lain.
Dengan memperhatikan prinsip hidup dan hakekat gereja Kristen, maka gereja Kristen adalah mitra pemerintah dan mitra kelompok-kelompok masyarakat dalam kaitan dengan hal-hal yang konstruktif.
Selanjutnya, secara khusus dan sempit hendak difokuskan perhatian kita kepada lingkungan gerejawi dan Kristiani dari gereja Kristen itu sendiri. Maksudnya siapa dan bagaimana gereja itu dan siapa dan bagaimana kelompok Kristen itu. Hal itni penting, mengingat ada begitu banyak denominasi (aliran) gereja, padahal semuanya menyatakan diri sebagai kelompok Kristen. Untuk orang Kristen sendiri sering ‘merk’ gereja yang begitu banyak amat membingungkan, apalagi untuk orang non-Kristen. Itulah sebabnya perlu ada penjelasan.
PengertianDi tengah begitu banyak gereja Kristen dengan pelbagai nama dan sejarah asal-usul, pembentukan dan berdirinya masing-masing, ternyata muncul kata ‘oikoumene’ yang menyatakan kerinduan semua gereja itu untuk mempersekutukan diri dalam semangat kerja sama dan saling membantu. Oikoumene bersal dari dua kata Yunani ‘oikos’ (rumah) dan ‘menein’ (tinggal) yang secara harafiah berarti ‘tinggal bersama dalam satu rumah’. Selanjutnya, pemahaman terhadap kata oikoumene diperluaskan meliputi seluruh dunia dan semua manusia. Sekalipun dalam arti sempit hendak mengungkapkan suasana bersekutu dan bersaudara dalam lingkungan gereja dan orang Kristen. Secara populrer dipahami di tengah jemaat-jemaat Kristen, bahwa ‘oikoumene’ adalah apabila selaku orang yang sama-sama mengakui Tuhan Yesus dan Juru selamat dapat mengusahakan kerja sama dan persekutuan anak-anak dari satu Bapa.
Banyak anggota, tetapi tubuh satuPesan dalam Alkitab sudah jelas, bahwa tubuh Kristus hanya satu saja, sedang anggota-anggotanya banyak dan semuanya dipersatukan dalam satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan (I Korintus 12:12-27; Efesus 4:3-6). Juga Tuhan Yesus melukiskan persekutuan itu dalam perumpamaan pokok anggur yang benar dengan ranting-rantingnya (Yohanes 15:1-8); kawanan domba yang dipimpin oleh seorang Gembala yang baik yakni Tuhan Yesus sendiri (Yohanes 10:10b-14); Ia pun mendoakan, ‘supaya semuanya menjadi satu’ (Yohanes 17:21).
Dalam wujud gereja dan kesatuan-kesatuan organisasi gereja, ternyata sejarah mencatat ada begitu banyak kesatuan organisasi gereja di dunia dan di Indonesia, sehingga sering membuat orang bertanya: kenapa gereja tidak satu saja organisasinya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menelusuri jejak-jejak sejarah gereja sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang ini. Boleh dikatakan, bahwa gereja memang mengalami proses kehidupan yang tidak selalu mulus. Ada banyak persoalan dan pergumulan yang susul-menyusul, sehingga membentuk — berdasarkan pokok-pokok ajarannya masing-masing — adanya denominasi (aliran) gereja. Itulah yang kemudian diwariskan kepada kita yang hidup pada masa kini.
Kita bayangkan, bahwa gereja mengalami pergumulan ajaran gereja sejak tahun-tahun permulaan kehadiran gereja. Kita mengenal tokoh-tokoh seperti Augustinus, Origenes, Tertullianus, Athanasius dll., dengan kemahirannya masing-masing dalam menghayati ajaran gereja. Lalu tersusunlah Pengakuan Iman Rasuli pada sekitar abad IV Masehi. Kemudian sampailah pada Skisma (Perpecahan) Pertama pada tahun 1054 dan terbentuk gereja Yunani Katolik dan Roma Katolik dengan kekhususannya masing-masing. Pada tanggal 31 Oktober 1517 Martin Luther memulai Reformasinya dengan memasang 95 dalil di pintu gereja Wittenberg di Jerman dan muncul aliran Protestan. Lalu pada tahun 1534 hadir gereja Anglican yang tidak berangkat karena perbedaan ajaran, tetapi usaha Raja Henry VIII dalam memikirkan suksesi bagi takhtanya. Sesudah itu bermunculanlah aliran-aliran gereja baru di kalangan kaum Protestan, sehingga makin ramailah suasana kehidupan gereja Protestan dan orang lain menyebutnya sebagai ‘penyakit Protestanisme’ yakni perpecahan demi perpecahan. Maka kita mengenal aliran-aliran seperti Lutheran, Calvinis dengan Reformed dan Re-reformed (Gereformeerd)-nya, Baptis, Methodis dengan perpecahan berikutnya Bala Keselamatan, Pentakosta, Adven, Injili dll.
Sesudah hadir begitu banyak gereja dengan namanya masing-masing, maka datanglah kerinduan untuk bersekutu dalam wadah oikoumenis. Maka muncullah World Council of Churches (Dewan Gereja Se-Dunia, DGD) pada tahun 1948 di Amsterdam, negeri Belanda, sebagai wadah gereja-gereja yang bersatu. Dalam perkembangan ternyata muncul pula International Council of Churches (Dewan Gereja Internasional), yang tentu saja mengurangi makna kebersatuan semua gereja Kristen di dunia ini. Tak juga boleh dilupakan munculnya World Alliance of Refoormed Churches (WARC), Reformed Ecumenical Synod (REC), Lutheran World Federation (LWF) yang mengharubirukan suasana oikoumenis yang mendunia menjadi tersekat-sekat kembali. Dalam tingkat regional hal itu kita jumpai dalam wujud Christian Conference of Asia (CCA) dan tentu juga ada ikatan-ikatan gereja di benua-benua yang lain yang dibentuk karena alasan geografis.
Di Indonesia kita mengenal wadah oikoumenis yakni Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI, dahulu DGI atau Dewan Gereja-gereja di Indonesia), berdiri pada tanggal 25 Mei 1950. PGI meliputi sekitar 80% orang Kristen Protestan di Indonesia. Ternyata hadir pula Dewan Pentakosta Indonesia (DPI), Persekutuan Injili Indonesia (PII), Gabungan Gereja-gereja Baptis (GGB) dll, masuk semuanya pada aras nasional Indonesia. Adakah semua gereja telah masuk dalam wadah-wadah oikoumenis di tingkat nasional itu? Dalam kenyataannya tidak, ibarat 10 tak habis dibagi 3, begitulah sifat gereja dan orang Kristen, sehingga ada saja yang tercecer, tidak masuk dalam salah satu wadah tersebut.
Dengan memperhatikan data-data di atas, pahamlah kita bahwa gereja-gereja baik di tingkat internasional, nasional, regional maupun lokal berkecenderungan seperti pendulum, goyang ke kanan dan kekiri secara timbal balik. Pada saat tertentu ingin gabung dan beroikoumene, pada saat yang lain ingin sendiri-sendiri.
Kita berharap bahwa prinsip ‘banyak anggota, tetapi satu tubuh’ selalu kita jadikan pegangan untuk beroikoumene. Karena prinsip inilah yang sesungguhnya dirindukan juga oleh Tuhan Yesus yang menjadi Raja kita semua.

Note : Penulis adalah Pdt.Em.Budhiadi Henoch dari GKI Cibunut Bandung, saya post artikel ini karena tertarik untuk di pahami tentang oikumene tsb, Tuhan Yesus memberkati Pelayanan Om Henoch dan Keluarganya, Amin.

Oikoumene dan masalah-masalah di sekitarnya (2)


Oikoumene dan masalah-masalah di sekitarnya (2)


Oleh: Pdt Budhiadi Henoch


Gereja, kelompok persekutuan dan bidatDefinisi “gereja” dijelaskan dalam prinsip dan hakekat gereja yakni “persekutuan orang-orang yang dipanggil untuk dijadikan milik Tuhan”. Definisi ini diambil dari kata Yunani ekklesia (ek-kaleo, memanggil keluar) dan kuriake atau kuriakon (milik kurios yaitu Tuhan). Selanjutnya gereja mewujudkan persekutuan dan melakukan panggilannya dalam bersaksi dan melayani. Itu berarti gereja membentuk organisasinya lengkap dengan perangkat kepengurusannya; ada kegiatan yang dilakukan oleh para anggota jemaatnya yang disebut pelayanan, baik berupa ibadah rutin pada hari Minggu (Domingo, hari Tuhan) untuk memperingati kebangkitan Tuhan Yesus dari antara orang mati, maupun kegiatan yang sesuai dengan tugasnya.
Kelompok-kelompok persekutuan biasanya muncul dalam kehidupan di tengah jemaat sesuatu gereja, terdiri dari anggota-anggota jemaat yang merasa perlu mengoreksi, melengkapi dan mencari bentuk-bentuk kegiatan baru, menyimpang dari program gerejanya. Mula-mula kegiatan mereka adalah berdoa, sehingga sebutan awal mereka adalah kelompok persekutuan doa. Dalam perkembangan diperluaskan dengan kegiatan-kegiatan lain seperti berbahasa lidah, penengkingan setan, baptisan Roh Kudus, kesembuhan, nubuat, perjamuan kudus, baptisan air (selam) dll. Kelompok tersebut sering merasa terpanggil untuk menjadi “garam gereja” (bukan garam dunia) dan terbeban untuk mengoreksi gereja karena kesuaman dan merosotnya iman jemaat, tak terkecuali menuding pula iman pendetanya. Kegiatan-kegiatan yang paralel dengan gereja itu memberi kesan terbentuknya “gereja di dalam gereja”. Bila kelompok ini sudah merasa maju, mereka menyebut dirinya sebagai kelompok kharismatik (kharisma = karunia), yang merasa punya kelebihan karunia rohani ketimbang anggota jemaat pada umumnya.
Bagaimana gereja resmi mengambil sikap terhadap kelompok persekutuan ini? Pada umumnya tidak mengambil sikap drastis, namun menjelaskan kepada seluruh anggota prinsip-prinsip Alkitabiah mengenai karunia-karunia, sebagaimana diberitakan khususnya dalam 1 Korintus 12-14 itu. Pada sisi lain, menasehati pengikut kelmpok itu untuk taat pada Tata Gereja yang berlaku, apabila yang bersangkutan masih ingin menjadi anggota dari jemaat tersebut. Dalam hal ini terasa sulit menghadapi dualisme pandangan mereka, mengingat yang bersangkutan sering ingin tampil beda dengan apa yang menjadi pola hidup jemaat itu, namun mereka juga ingin tetap menjadi anggotanya. Mungkin karena alasan emosional, mungkin juga karena “nama besar” dari jemaat itu.
Dalam praktek mereka tidak hadir lagi di tengah kehidupan jemaat asal mereka, karena acara hidup mereka kini lebih banyak dalam lingkungan persekutuan. Dapatkah dikatakan bahwa mereka undur secara diam-diam? Mungkin benar demikian. Agaknya, pimpinan gereja perlu secara lebih tegas mengambil tindakan terhadap mereka, agar posisi dan status mereka jelas: kehidupan rohani mereka tidak lagi menjadi tanggung jawab gereja asal mereka.
Berikutnya berbicara tentang bidat-bidat cukup gamblang, sebab bidat-bidat itu sebenarnya bukan Kristen, kendati mereka menggunakan Alkitab kita dan memasang nama “Tuhan Yesus” atau sebutan “Kristen” untuk golongan mereka itu. Bidat-bidat yang lazim disebut adalah Saksi Yehova yang sering pula memakai nama “siswa-siswa Alkitab”, ilegal di Indonesia; Gereja Yesus Kristus dari Orang Suci Zaman Akhir yakni aliran Mormon dengan pusatnya di Salt Lake City, Utah (USA), legal di Indonesia; Christian Science (Ilmu Pengetahuan Kristen), legal di Indonesia; Children of God (Anak-anak Allah), yang pernah menghebohkan masyarakat Indonesia pada tahun 1984 dan sejak saat itu dilarang dan lain-lain. Dalam praktek kehidupan gereja secara tidak pasti kadang-kadang muncul aliran aneh seperti Aliran Tubuh Kristus di Jakarta dengan cara berdoa nungging, anti materi dan menganggap tak perlu gereja. Terhadap semua bentuk peyimpangan dari budaya dan kehidupan gereja yang umum, hendaknya kita mewaspadainya.
Sekarang kita telah paham bahwa gereja, kelompok persekutuan dan bidat mempunyai definisinya masing-masing. Masalahnya: dapatkah kita melaksanakan tugas secara kritis mengamati setiap ajaran gereja yang disampaikan oleh para pengajar misalnya pendeta, penatua, penginjil dan lain-lain? Juga beredar di luar dan masuk ke dalam gereja kita? Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik (1 Tesalonika 5:21)


Note : Penulis adalah Pdt.Em.Budhiadi Henoch dari GKI Cibunut Bandung, saya post artikel ini karena tertarik untuk di pahami tentang oikumene tsb, Tuhan Yesus memberkati Pelayanan Om Henoch dan Keluarganya, Amin.

Oikoumene dan masalah-masalah di sekitarnya (3)


Oikoumene dan masalah-masalah di sekitarnya (3)


Oleh: Pdt Budhiadi Henoch

Sejarah gerakan oikoumenisSebenarnya kesadaran untuk mempersatukan diri dalam kesatuan gereja secara oikoumenis sudah muncul bersamaan dengan kesadaran bahwa perpecahan gereja adalah tak dikehendaki Tuhan. Hugo de Groot berusaha mendamaikan gereja Roma Katolik dengan gereja-gereja reformatoris. Juga Friedrich Wilhelm III dari Prusia yang menghimpun orang ‘Lutheran’ dan ‘Reformatoris’ dalam gereja kesatuan. Namun usaha itu tak berhasil sehingga suasana tak bersekutu terus berlangsung.
Perkembangan kehidupan gereja-gereja di pelbagai tempat pada kurun waktu berikutnya telah menghangatkan lagi dan memungkinkan gerakan oikoumenis dapat berkembang dengan baik, antara lain lewat lembaga-lembaga Alkitab (1804), aliansi Evangelis (1846), YMCS (1855), YWCA (1884), WSCF (1895), konperensi Lambeth yang menghimpun para uskup dari gereja Anglican (1867) dan selanjutnya konperensi Pekabaran Injil Internasional di Yerusalem (1928) dan Tambaran (1938). Memang ada peristiwa-peristiwa lain yang mendorong terciptanya suasana yang baik untuk gerakan oikoumenis. Tak terkecuali, yang dikenal sebagai bapak gerakan oikoumene, Dr John R. Mott (25 Mei 1865 – 31 Januari 1955) melakukan kegiatan-kegiatan oikoumenis secara lebih luas lagi, sehingga makin semaraklah semua usaha oikoumenis sampai terbentuknya Dewan Gereja-Gereja Sedunia di Amsterdam (1948). Ialah yang pernah berucap: “Tuhan Allah telah mengerjakan hal-hal besar bagi kita, sebab itu kita pun berhutang untuk mengerjakan hal-hal besar bagi-Nya.”
Bagaimana dengan Indonesia? Orang Kristen Indonesia telah ikut serta dalam berbagai pertemuan internasional pada masa lalu dan meningkatkan kesadaran oikoumenisnya antara lain dengan menyelenggarakan konperensi mahasiswa Kristen internasional di Citeureup (1933), ikut serta dalam konperensi Pekabaran Injil di Whitby (Kanada) dan konperensi pemuda Kristen di Oslo (1947), ikut dalam pembentukan Dewan Gereja Sedunia di Amsterdam (1948) dan ikut membentuk East Asia Christian Conference (EACC, kini CCA) di Bangkok (1949). Dengan pelbagai pengalaman beroikoumenis itu wajar apabila gerakan oikoumenis di Indonesia pun berkembang sampai terbentuknya Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI, kini PGI) pada tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta.
Selanjutnya menjadi tugas kita pada masa kini untuk melestarikan gerakan oikoumenis sebagaimana telah dirintis oleh para pendahulu kita seperti W.J. Rumambi, T.B. Simatupang dan lain-lain. Gerakan oikoumenis masih berlanjut dan akan mempunyai bentuk-bentuknya yang baru sesuai dengan perkembangan zaman. Seminar Pertumbuhan Gereja pada tahun 1989 diadakan di Jakarta dengan tokoh-tokoh gerakan oikoumenis pada masa kini mulai bermunculan. Amat diharapkan bahwa mereka dapat mengembangkan roh oikoumenis sesuai dengan zamannya, sehingga gereja dan denominasi pada masa kini dapat memikirkan langkah-langkah bersamanya dengan baik.
Syarat-syarat beroikoumeneTentu untuk dapat mewujudkan suasana oikoumenis yang baik diperlukan pemenuhan syarat-syaratnya. Kita mencoba dengan mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

- Jangan memandang gereja/denominasi-ku lebih baik dan lebih superior dari yang lain, sebaliknya hendaknya saling membangun (Efesus 4:11-16).
- Akuilah mereka sebagai saudara seiman yang sepihak dengan kita (Markus 9:40; Lukas
9:50; Matius 12:30).
- Berilah toleransi untuk kekurangan pihak lain dan terimalah kelebihan pihak lain dengan hati terbuka.
- Pandanglah ladang bersama, sehingga dapat bersama-sama melayani pekerjaan Tuhan yang semakin luas dan berat. Tak usah berebut ‘domba’, sebab sesungguhnya ‘dombaku’ dan ‘dombanya’ adalah hamba Tuhan Yesus.

Kita berharap bahwa kita taat azas untuk melaksanakan kesediaan beroikoumene bersama pihak-pihak lain. Carilah persamaannya, sehingga di samping membangkitkan simpati juga meniadakan kecurigaan. Jangan terhambat oleh perbedaan, kendati tak menutup mata terhadap adanya perbedaan itu. Usahakan agar dapat melakukan pekerjaan bersama pihak lain yang gilirannya juga dapat bekerja sama dengan pemerintah. Kesemuanya itu dilandasi dengan semangat kerukunan. Ingat tri-kerukunan: kerukunan intern umat beragama, kerukunan antara umat beragama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah.
Untuk selanjutnya silahkan menyusun program kerja yang bersifat oikoumenis agar seluruh kegiatan gerejawi yang kita laksanakan benar-benar mewujudkan kerinduan yang mendalam beroikoumene. Hasilnya akan dapat kita nikmati bersama baik dilingkungan gereja khususnya maupun di lingkungan masyarakat pada umumnya.
PenutupPada akhirnya langkah beroikoumene kita amat bergantung pada kesediaan setiap orang yang terlibat di dalamnya, dinyatakan dengan tulus hati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Sampai pada titik ini kita tak dapat menentukan lebih dahulu sebelum teruji di medan pelayanan dan kehidupan gerejawi kita setiap hari. Singkatnya: Jangan kita berkata saja, tetapi juga bertindak nyata dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat kita. Kesemuanya itu akan dinilai oleh semua orang yang memiliki kepedulian terhadap permasalahan oikoumene tersebut.


Note : Penulis adalah Pdt.Em.Budhiadi Henoch dari GKI Cibunut Bandung, saya post artikel ini karena tertarik untuk di pahami tentang oikumene tsb, Tuhan Yesus memberkati Pelayanan Om Henoch dan Keluarganya, Amin.

Friday, April 3, 2009

Yang Menyelamatkan Nyawa Akan Kehilangan Nyawa


Yang Menyelamatkan Nyawa Akan Kehilangan Nyawa
Oleh Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
RENUNGAN MINGGU, 8 MARET 2009
Tahun C: Pra-Paska II
Warna: Ungu

YANG MENYELAMATKAN NYAWA AKAN KEHILANGAN NYAWA
Kej. 17:1-7, 15-16; Mzm. 22:23-32; Rom. 4:13-25; Mark. 8:31-38

Pengantar
Naluri untuk menyelamatkan nyawa bukanlah hasil latihan dan didikan lingkungan, tetapi sesuatu yang sudah diberikan (“be given”) dari yang memberi hidup, yaitu Allah. Saat menghadapi suatu bahaya apapun kita akan segera refleks untuk melindungi dan menyelamatkan nyawa. Apabila kita tidak mampu melawan, karena kalah kuat ya kita akan segera memilih untuk melarikan diri. Saat kita terluka, maka kita akan segera mencari upaya untuk segera menghentikan luka tersebut. Saya ingat bagaimana seseorang yang paru-parunya mulai tidak berfungsi bersedia menjual apapun yang dimiliki agar dapat memiliki alat pacu untuk paru-parunya. Waktu itu saya memperoleh informasi bahwa harga alat pacu tersebut mencapai 1 milyar rupiah yang setiap hari harus dikontrol oleh beberapa orang dokter dan beberapa orang perawat. Saya tidak tahu biaya pengeluaran untuk operasional peralatan tersebut setiap bulan. Pasti keluarga tersebut harus mengeluarkan dana rutin di atas 50 juta rupiah setiap bulan agar dapat menjaga kelangsungan hidup dari orang yang mereka kasihi. Bahkan setiap mahluk hidup seperti hewan pada umumnya juga memiliki naluri yang sangat tinggi untuk menyelamatkan nyawanya. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka bersedia mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan yang ada, apakah dengan cara berlari sekencang-kencangnya, melakukan perlawanan yang sengit, mengeluarkan senjata berupa racun atau bisa yang dapat mematikan lawan atau menyembunyikan diri selama berminggu-minggu. Jika naluri menyelamatkan merupakan suatu karunia dari Tuhan agar setiap mahluk hidup khususnya manusia dapat tetap hidup, mengapa Tuhan Yesus justru berkata: “Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya” (Mark. 8:35).

Ajaran dan perkataan Tuhan Yesus sepertinya bertentangan dengan naluri yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap umatNya. Bukankah kita justru mengecam orang-orang yang membiarkan nyawanya terancam tanpa ada upaya sama sekali, misalnya: tidak segera menghindar saat bahaya maut menerpa mereka, mengabaikan kesehatan dengan cara terlalu bekerja keras, sikap yang terlalu berani tanpa perhitungan, sengaja menempatkan diri dalam bahaya, atau tindakan yang dapat mengarah kepada bunuh diri? Bukankah nilai kehidupan ini begitu berharga? Nyawa setiap orang sangat berharga sehingga sistem keselamatan kerja dalam suatu seluruh bidang pekerjaan mutlak diberlakukan. Negara-negara maju telah menerapkan sistem asuransi kesehatan dan kecelakaan bagi setiap warga-negaranya agar mereka dapat memperoleh pelayanan medis yang baik saat mereka mengalami gangguan kesehatan atau mengalami musibah. Pada intinya disadari betapa berharganya nilai suatu kehidupan, sehingga perlu diperjuangkan dan dijaga secara bertanggungjawab. Itu sebabnya pasar alat kesehatan di Amerika Serikat tahun 2005 mencapai 80,3 miliar dollar, dan pada tahun 2010 akan mencapai angka 100 juta miliar dollar. Kemudian pasar global untuk alat-alat kedokteran implant mikroelektrik adalah 11,9 miliar dolar pada tahun 2004 diperkirakan akan meningkat rata-rata 22,1 persen per-tahun sehingga pada tahun 2009 ini akan mencapai 32,3 miliar dollar. Semua data tersebut mau menyatakan perlunya menjaga dan menyelamatkan nyawa sebagai suatu karunia Tuhan dengan sikap yang bertanggungjawab. Jika demikian, apa relevansinya ajaran dan perkataan Tuhan Yesus tersebut dalam kehidupan kita? Tentunya yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus dengan makna “menyelamatkan nyawa” tidak terkait dengan tugas kewajiban dan tanggungjawab kita untuk menjaga keselamatan nyawa saat kita menghadapi suatu bahaya sebagaimana diuraikan di atas. Sebab kewajiban dan tanggungjawab untuk menjaga keselamatan nyawa telah menjadi suatu hukum alam yang perlu diwujudkan dalam suatu sistem dan pola kehidupan yang lebih beradab, sehingga setiap orang tanpa terkecuali juga bertanggungjawab atas keselamatan nyawa sesamanya.

Memperoleh Dunia

Ungkapan “nyawa” jelas menunjuk kepada esensi yang paling fundamental dalam kehidupan manusia. Dalam konteks ini pengertian “nyawa” diidentiikan dengan “roh” yang pada hakikatnya menunjuk kepada keseluruhan diri atau hakikat dari kepribadian manusia. Sehingga sikap berkorban dengan mempertaruhkan nyawa (put life on the line) berarti memberikan sesuatu yang paling berharga atau segala-galanya dari keseluruhan diri. Tidak ada yang lebih tinggi dari pada sikap mau berkorban dengan rela kehilangan nyawa untuk keselamatan orang lain. Pemahaman inilah yang disampaikan oleh Tuhan Yesus ketika Dia menyampaikan misi kedatanganNya ke dunia ini, yaitu untuk memenuhi ketetapan Ilahi yang harus menanggung banyak penderitaan, ditolak oleh para pemimpin agama lalu dibunuh tetapi bangkit sesudah tiga hari (Mark. 8:31). Tetapi bagi para murid, khususnya Petrus sikap Tuhan Yesus tersebut sungguh mengejutkan. Mereka percaya bahwa Tuhan Yesus adalah Messias Allah, tetapi sulit bagi mereka untuk menerima kenyataan apabila Dia harus menderita lalu dibunuh. Bagi mereka, seorang Messias senantiasa ditandai oleh kemenangan demi kemenangan, kesuksesan demi kesuksesan dan tentunya memiliki kuasa untuk memiliki apa yang dia kehendaki. Tepatnya Messias yang mereka harapkan adalah seorang Messias pembebas dan penakluk yang memiliki kuasa politik dan militer yang hebat sehingga kuasa penjajahan dari bangsa Roma dapat dipatahkan. Itu sebabnya ketika mereka melihat kuasa Ilahi yang dinyatakan dalam diri Tuhan Yesus, timbullah pengharapan dan kerinduan yang semakin menguat bahwa Dia dapat menjadi seorang Messias yang mampu mengalahkan atau menaklukkan kekuasaan dan penjajahan bangsa Romawi. Bahkan di dalam diri Yesus, mereka mengharapkan peran sebagai Messias yang mampu menaklukkan seluruh kerajaan dunia di bawah kekuasaan militer atau politik dari kerajaan yang didirikanNya. Sehingga dengan gambaran Messias demikian, para murid Yesus mengharapkan bahwa Tuhan Yesus dapat memperoleh seluruh dunia dan kekuasaannya. Jadi inti pengharapan para murid Yesus pada prinsipnya didasarkan kepada pemahaman bahwa kekuasaan yang besar dapat dipakai untuk memperoleh kekayaan dunia yang sebesar-besarnya.

Kita sering memaknai arti menyelamatkan nyawa dengan pola berpikir/pengertian para murid Yesus. Semakin kita diserahi atau dapat memiliki kekuasaan yang besar, maka kita merasa berhak untuk memperoleh kekayaan dunia yang sebesar-besarnya. Tidaklah mengherankan jikalau kekuasaan dalam berbagai bentuk seringkali dikejar dengan cara apapun agar kita dapat memanfaatkan kekuasaan tersebut untuk kepentingan duniawi. Begitu banyak orang yang bersedia mempertaruhkan nyawa mereka agar mereka mencapai kekuasaan atau posisi yang sebesar-besarnya. Mereka menjadi orang-orang yang sangat ambisius, mabuk kekuasaan dan kerap tidak segan untuk menghalalkan segala macam cara. Seakan-akan apabila mereka dapat menguasai dan memperoleh banyak hal dari dunia ini, mereka berhasil menyelamatkan nyawanya. Arti “nyawa” dalam konteks ini dihayati sebagai kekuatan yang dihidupi oleh berbagai dorongan ambisi dan dilengkapi oleh berbagai macam strategi untuk meraih banyak hal. Sehingga arti “menyelamatkan nyawa” identik dengan kemampuan untuk meraih semua hal yang diinginkan. Akibatnya apabila ada orang yang merasa tidak berhasil meraih semua hal yang diinginkan, maka dia menganggap dirinya tidak berhasil “menyelamatkan nyawanya”. Dia menganggap dirinya telah kalah atau gagal meraih kemenangan dalam kehidupan ini. Itu sebabnya orang-orang dengan filosofi demikian berupaya untuk selalu merebut, mengambil, dan merampas apa saja yang dia inginkan walaupun dengan konsekuensi banyak sesama yang akan menjadi korbannya. Mereka mencoba untuk membangun kebahagiaan dan kemenangan palsu di atas penderitaan dan ketidakberdayaan orang lain. Nyawa orang yang demikian lebih tepat disebut sebagai nyawa orang serakah sebab hatinya tidak pernah puas dan mensyukuri berkat Tuhan yang telah dia terima. Karena dia tidak pernah mensyukuri berkat Tuhan yang ada, maka dia ingin selalu merebut berkat Tuhan yang telah dimiliki oleh sesamanya. Padahal semua ambisi dan keserakahan tersebut justru merupakan tanda dari kemiskinan hatinya atau nyawa yang telah binasa sebab telah menjauhkan diri dari rahmat dan keselamatan Allah. Sehingga sangatlah tepat ketika Tuhan Yesus berkata: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? “ (Mark. 8:36-37).

Menyangkal Diri

Panggilan Kristus untuk menyangkal diri sangatlah bertolak belakang dengan upaya untuk memperoleh isi dan kuasa dunia. Sebab makna “menyangkal diri” justru secara bersengaja menolak untuk bersikap serakah, tidak haus kekuasaan, mampu mengendalikan hawa-nafsu, mencukupkan diri dengan berkat yang dimiliki dan mengutamakan kehendak Allah di atas segala-galanya. Dengan demikian ciri kehidupan umat beriman seharusnya ditandai oleh sikap penyangkalan diri. Semakin kita mampu menyangkal diri, maka kita dimampukan untuk menyelamatkan nyawa dalam arti yang sesungguhnya. Sebab “nyawa” kita berhasil dikendalikan sedemikian rupa sehingga orientasi dari “nyawa” kita tersebut tetap terarah kepada Allah. Di kitab Kej. 17:1-2, Allah menyatakan diriNya kepada Abraham dengan suatu perjanjian kekal, yaitu: “Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela. Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau, dan Aku akan membuat engkau sangat banyak". Abraham dipanggil oleh Allah untuk hidup di hadapanNya dengan tidak bercela atau sempurna (Ibr “tamim”: perfect, complete) sebagai syarat terwujudnya ikatan perjanjian kekal. Di sini muncul suatu hubungan ide antara sikap menyangkal diri dengan hidup yang tidak bercela. Sebab bukankah salah satu tujuan utama dari penyangkalan diri adalah pola hidup yang benar, yaitu hidup yang tidak bercela di hadapan Allah dan sesama? Pada pihak lain suatu pola hidup yang tidak bercela tidaklah mungkin diwujudkan tanpa sikap penyangkalan diri. Kedua aspek sikap etis-moril tersebut ditempatkan di bawah otoritas Allah sebagai Yang Mahakuasa. Sebagaimana diketahui bahwa dalam penyataan kepada Abraham, Allah menyebut diriNya sebagai “Yang Mahakuasa” אל שדי ) ), “El Shaddai” yang berarti “to overpower” dan juga “to destroy”. Allah pada hakikatnya adalah Yang Mahakuasa dan yang mampu membinasakan setiap orang yang hidup bercela. Sehingga mereka yang tidak mau menyangkal diri, maka pastilah akan berhadapan dengan Allah Yang Mahakuasa. Dengan demikian makna menyangkal diri merupakan suatu panggilan yang mutlak, apabila manusia ingin tetap hidup dalam ikatan perjanjian kekal dengan Allah. Dengan arti yang sama, Tuhan Yesus juga menempatkan sikap menyangkal diri sebagai syarat utama untuk mengikut Dia: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mark. 8:34).

Di tengah-tengah zaman yang serba bebas dan modern ini kita sering mencoba untuk melunakkan makna menyangkal diri. Sebab kita sering mengalami kesulitan untuk hidup benar atau tanpa cela sebagai wujud dari sikap penyangkalan diri. Untuk itu makna penyangkalan diri sering terbatas pada upaya “membatasi” suatu kegemaran tertentu saja seperti: merokok, menonton film yang tidak senonoh, mengurangi makanan daging dan lemak, minuman yang beralkohol, pola hidup yang royal, dan sebagainya. Tentunya beberapa upaya “diet” yang bersengaja untuk membatasi diri tersebut di atas sangat positif dan bermanfaat. Tetapi perlu dipahami pula bahwa makna menyangkal diri lebih luas dan dalam dari pada sekedar upaya “diet” fisik dan “diet” rohaniah. Sebab tidak secara otomatis mereka yang memberlakukan “diet” fisik dan rohaniah mampu hidup benar dan tidak bercela di hadapan Allah. Kita mungkin berhasil hidup sehat secara jasmaniah dan rohaniah, tetapi justru sering gagal untuk mengendalikan hawa-nafsu dan keserakahan yang secara substansial lebih berbahaya dari pada sekedar tidak menonton film yang cabul atau hidup yang berhemat. Misalnya: tidak suka menonton film cabul tetapi suka mempraktekkan perzinahan, tidak suka royal dalam berbelanja tapi suka merebut hak milik orang lain, tidak suka minuman beralkohol tetapi suka menipu sesama, tidak suka merokok tetapi suka menyebar fitnah, tidak makan daging dan lemak tapi suka melampiaskan kemarahan. Sikap penyangkalan diri lebih terkait dengan kesediaan untuk terus mengendalikan seluruh elemen kepribadian yang cenderung dan menyukai apa yang bercela atau yang duniawi. Karena itu sikap penyangkalan diri senantiasa merupakan respon iman yang selalu bersedia untuk menilai keadaan diri sendiri secara jujur dan obyektif agar semakin tersedia ruang yang leluasa bagi karya pembaharuan Allah. Hasilnya adalah karya pembaharuan Allah yang akan memampukan kita untuk hidup benar di hadapanNya. Yang mana pola hidup benar tersebut kita lakukan berdasarkan panggilan iman, dan bukan karena ketaatan legalistik kepada hukum-hukum Allah. Dengan demikian pola kehidupan kita seperti yang dilakukan oleh Abraham, yang senantiasa dilandasi oleh iman yang kokoh kepada Allah. Rasul Paulus berkata: “Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan” (Rom. 4:20-21).
Belajar Dari Iman AbrahamBapa Abraham sangat diberkati dengan kasih karunia Allah yang istimewa, tetapi pada pihak lain dia tidak segera memperoleh apa yang diinginkan. Sesungguhnya Abraham sejak dia menikah telah sangat merindukan kehadiran seorang anak yang dilahirkan oleh Sara. Tetapi sampai dia dan Sara berusia uzur, Allah belum mengaruniakan seorang anak. Padahal Abraham waktu itu telah berusia 99 tahun dan Sara berusia sekitar 89 tahun. Secara medis tidaklah mungkin seorang wanita dapat melahirkan dalam usia 80 tahun lebih, karena proses persalinannya akan sangat berbahaya. Juga tidaklah mungkin, dalam usia lanjut seorang wanita dapat melahirkan karena pastilah dia telah mati haid. Apa yang tidak mungkin terjadi secara manusiawi, secara khusus dalam kasus ini menjadi suatu kemungkinan. Padahal nama Abram yang artinya: bapa yang mulia/luhur diubah oleh Allah menjadi “Abraham” yang artinya: bapa orang banyak. Tetapi ternyata dia dan Sara dalam usia yang sangat lanjut tetap belum memiliki seorang anak. Selama proses penantian yang begitu panjang tentunya merupakan proses yang sangat sulit, berat, kadang timbul rasa bimbang, kuatir dan putus-asa. Tetapi satu hal yang tidak pernah berubah dalam diri Abraham adalah sikap iman dan kesetiaannya. Proses “penyangkalan diri” Abraham untuk melawan semua kebimbangannya atau rasa kuatirnya sebagai seorang manusia bukanlah suatu perkara yang gampang. Ritme imannya dapat “naik-turun”. Tetapi yang luar biasa Abraham tidak pernah kehilangan kesetiaan kepada Allah yang telah berjanji akan mengaruniakan keturunan yang banyaknya seperti bintang di langit (Kej. 15:5). Itu sebabnya rasul Paulus menyatakan: “Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup. Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah” (Rom. 4:19-20). Tepatnya Abraham dalam menantikan janji Allah menjelang usia lanjut senantiasa dipenuhi oleh pergumulan yang sangat berat untuk melawan dan menyangkal kehendak dirinya untuk segera memperoleh seorang keturunan dari rahim Sara. Tetapi proses penyangkalan diri yang dilakukan oleh Abraham tersebut tidak didasarkan kepada kekuatan dan kemampuan dirinya, tetapi didasarkan kepada imannya yang percaya penuh kepada janji Allah di depan.

Dalam sikap penyangkalan diri untuk mengikut Kristus seharusnya kita mau meneladani sikap iman Abraham. Abraham tetap percaya kepada janji Allah di depan, walau dia sering dipenuhi oleh berbagai pergumulan dan ketidakpastian, rasa kuatir dan bimbang. Kegagalan kita untuk menyangkal diri disebabkan karena kita sering kehilangan perspektif iman ke depan. Masa depan sering kita anggap serba kelabu dan kelam, sehingga kita merasa tidaklah mungkin dapat mengalami realisasi dari janji Allah. Akibatnya kita kehilangan iman dan kesetiaan kepada Kristus. Penyangkalan diri bukanlah sekedar suatu upaya pembebasan diri dari belenggu dan godaan atau pencobaan di masa kini, tetapi juga suatu langkah untuk merealisasikan sikap iman yang selalu siap untuk menyambut uluran janji keselamatan Allah di depan. Itu sebabnya gambaran dari orang yang menyangkal diri dan mengikut salib tidak pernah ditempatkan di depan Tuhan Yesus, tetapi berada di belakang Tuhan Yesus. Kita seharusnya berjalan dengan iman di belakang Tuhan Yesus. Bahkan tepatnya Tuhan Yesus adalah manifestasi dari masa depan tersebut. Sehingga ketika Kristus berjalan menuju salib, maka seharusnya kita berjalan mengikuti Dia. Tetapi realitanya sikap kita seperti Petrus yang segera menegor Tuhan Yesus (Mark. 8:32). Kita menghendaki agar Kristus mau menjauh dari salib dan kematian agar Dia semakin leluasa untuk memperoleh kuasa dunia. Sehingga kalau Kristus memiliki seluruh kuasa dunia ini, bukankah kita juga beruntung sebab dapat memperoleh kuasa dunia tersebut? Pola pikir kita sering hanya memikirkan keinginan manusiawi, tetapi mengabaikan apa yang dipikirkan dan dikehendaki oleh Allah. Tetapi tidaklah demikian sikap Abraham, dia tetap mengedepankan sikap iman dan kesetiaannya agar seluruh kehendak dan rencana Allah terwujud sesuai dengan janjiNya.

PanggilanProses pengujian untuk menyangkal diri sangat nyata ketika harapan dan keinginan kita tidak terpenuhi dalam waktu yang singkat. Karena umumnya kita menghendaki dalam waktu singkat dapat meraih banyak hal dalam kehidupan ini. Itu sebabnya kita sering tidak sabar saat menantikan janji Allah yang kadang begitu lama perwujudannya. Mengikut Kristus membutuhkan kesabaran dan kerelaan untuk dipimpin ke arah yang Dia kehendaki. Bagi dunia, salib dan penderitaan merupakan cela. Tetapi bagi Allah, salib merupakan wujud dari dimensi kasih Allah yang membenarkan setiap orang percaya. Melalui salib Kristus, Allah menganugerahkan keselamatan agar umat hidup dalam perjanjian dan keselamatan kekal. Ini terjadi karena Kristus mau menyerahkan nyawaNya bagi kita. Jika demikian, bagaimanakah sikap kita: apakah kita lebih memilih mempertahankan nyawa; atau kita mau menyerahkan nyawa kita untuk kemuliaanNya? Selain itu apakah hidup kita terus terarah ke depan yaitu kepada Kristus yang menguasai seluruh kehidupan manusia? Ataukah hidup kita lebih terarah untuk merebut banyak hal agar kita merasa diri lebih kaya dan aman? Tuhan Yesus berkata: “Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya” (Mark. 8:35). Bagaimanakah jawaban saudara? Amin.

Motivasi


Motivasi


Oleh : Pdt. Dr. Erastus Sabdono

Saudara-saudaraku jemaat Tuhan yang kekasih,

Selama ini kita sering menyebut-nyebut kata motivasi. Biasanya kata motivasi dalam lingkungan Gereja dikaitkan dengan pelayanan atau pengiringan kepada Tuhan Yesus. Sebelum membahas hal kemurnian motivasi pelayanan, terlebih dahulu perlu ditinjau apa yang dimaksud dengan motivasi itu. Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang artinya bergerak. Kata movere memberikan impresi yang jelas atau menunjuk sesuatu yang aktif, dinamis dan juga bisa menunjukkan sesuatu yang berkembang atau progresif. Secara etimologis (asal usul kata); kata motivasi berasal dari kata motif, yang artinya dorongan, kehendak alasan atau kemauan. Maka motivasi adalah dorongan-dorongan (forces) yang membangkitkan dan menggerakkan kelakuan individu. Motivasi bukanlah tingkah laku, melainkan kondisi internal yang komplek, dan tidak dapat diamati secara langsung, akan tetapi mempengaruhi tingkah laku seseorang. Itulah sebabnya kita dapat melihat motivasi seseorang berdasarkan tingkah lakunya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didiskripsikan bahwa motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Deskripsi ini memiliki kesamaan dengan pengertian motivasi di atas bila ditinjau dari etimologinya, yaitu movere. Dengan penjelasan diatas ini dapatlah ditarik konklusi bahwa motivasi menunjuk kepada sikap hati yang menghasilkan suatu dorongan untuk berbuat sesuatu secara konkret. Itulah sebabnya dalam bukunya yang berjudul Teori Motivasi, penulisnya mengatakan bahwa motivasi menentukan kuat-lemahnya tingkah laku atau gerakan untuk mencapai tujuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Pada dasarnya motivasi timbul karena dilandaskan pada kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhi.

Seorang penulis buku lain mengatakan mengenai motivasi sebagai berikut: Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan. Sejajar dengan ungkapan pernyataan diatas, penulis lain juga mengatakan bahwa motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan. Motif yang dimaksud ialah daya dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Dalam ungkapannya tersebut hendak menekankan bahwa motivasi merupakan proses yang menggerakkan sebuah kegiatan atau proyek demi tercapainya sebuah tujuan tertentu dengan melahirkan atau menciptakan motif-motif lain sebagai pendukungnya.

Berkenaan dengan tujuan yang hendak dicapai dalam motivasi, seorang penulis buku mengenai motivasi dari Barat mengatakan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya rasa dan tanggapan terhadap adanya tujuan. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa motivasi sangat berkorelasi dengan tujuan. Jika tidak ada motivasi maka tujuannya pun tidak jelas. Disini nyatalah bahwa motivasi adalah daya penggerak yang telah diaktifkan.


Fenomena ini ditegaskan oleh pendapat tokoh pemikir yang bernama Callahan dan Clark bahwa motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu. Jadi berbicara mengenai kemurnian motivasi, maka hendak dijabarkan mengenai motivasi yang seharusnya dimiliki seorang anak Tuhan dan pelayan Tuhan dalam Gereja Tuhan. Tidak ada motivasi lain dalam hidup kita kecuali mengenal Dia untuk mengabdi kepadaNya. Diluar hal ini berarti pemberontakan dan menuju kebinasaan, api kekal.