Wednesday, December 15, 2010

Makna Yang Baru

Oleh: Pdt.Dr.Erastus Sabdono
(Truth Daily Enlightenment)
Baca: Mazmur 42:2–6
Alkitab dalam setahun: Nehemia 1–3

Dalam Mazmur 42, Pemazmur menggambarkan umat Allah seperti rusa yang merindukan sungai yang berair. Pernyataan ini merupakan suatu gambaran betapa tergantungnya umat kepada Tuhan. Umat Perjanjian Lama merindukan Tuhan, karena membutuhkan pertolongan-Nya dari segala ancaman yang menghadang mereka dan karena banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Tuhan menjadi andalan mereka yang harus dimintai pertolongan untuk pemenuhan kebutuhan jasmani.
Sampai hari ini, kata-kata puitis dalam kitab Mazmur masih menjadi kalimat doa orang Yahudi di Tembok Ratapan (Wailing Wall). Tentu ayat dalam Mazmur 42 ini juga digunakan sebagai kalimat doa mereka. Sewaktu masih muda, penulis juga suka menggunakan ayat-ayat ini sebagai kalimat doa.
Juga sampai hari ini, banyak orang Kristen masih menggunakan kata-kata Mazmur sebagai kalimat doanya dan menjadikan ayat-ayat dalam kitab Mazmur sebagai landasan imannya. Ini patut diwaspadai, sebab dengan hal ini, orang Kristen bisa menyamakan standar iman orang Yahudi—umat Perjanjian Lama—dengan umat Perjanjian Baru. Seharusnya tidak demikian, sebab standar iman umat Perjanjian Baru jauh lebih tinggi dibandingkan standar iman umat Perjanjian Lama.
Tentu kita masih menggunakan kitab Perjanjian Lama umumnya dan Mazmur khususnya, sebab di dalamnya termuat banyak pelajaran rohani atau hikmah yang berharga. Tetapi kita harus memaknainya dengan cara yang berbeda dengan cara orang Yahudi memaknainya.
Ketika kita mengatakan bahwa kita seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, kita harus sadar bahwa ketergantungan kita kepada Tuhan bukanlah karena hal-hal yang menyangkut pemenuhan kebutuhan jasmani, sebab itu semua telah disediakan oleh Tuhan (Mat. 6:32). Dengan demikian, kita bisa hidup tanpa kekhawatiran sama sekali, sebab Bapa telah menyediakan apa yang kita butuhkan. Yang penting bagi kita adalah berusaha atau bekerja keras untuk meraihnya.
Maka pernyataan “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair” harus dimaknai baru. Maknanya adalah, kita membutuhkan Tuhan karena Dialah Pencipta kita. Kita baru menjadi berarti kalau menemukan fungsi kita dalam rencana atau kehendak-Nya. Dia berarti bagi kita, kalau kita menyadari bahwa hanya Dialah kesukaan hidup ini—tidak ada kesukaan yang lain. Dia berarti bagi kita, kalau kita menyadari betapa mengagumkan hikmat dan kebijaksanaan-Nya, sehingga kita mengerti apa yang dikehendaki-Nya untuk kita lakukan.

Kita baru berarti jika menemukan fungsi dalam rencana Tuhan.

Konsumtif pada Firman Tuhan


Oleh : Pdt. Bigman Sirait

KONSUMTIF adalah sifat yang tidak produktif. Sifat ini menghabiskan, bukan menghasilkan.
 Orang yang konsumtif membelanjakan banyak hal yang sifatnya sementara. Mungkin dia konsumtif terhadap makanan, pakaian atau dandanan, sehingga tampak berlebihan. Untuk itu dia memerlukan biaya yang sangat besar, sampai-sampai tidak punya dana untuk pekerjaan Tuhan, misalnya. Sifat seperti ini, secara rohani tidak benar. Secara umum pun bisa sangat membahayakan. Bayangkan jika seluruh orang Indonesia bersifat konsumtif, tidak pernah produktif, maka kita akan mengimpor terus, tidak pernah mengekspor.

 Maka bagaimanapun sikap konsumtif harus dimusuhi, karena bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Yang satu belanjanya banyak, sementara yang lain tidak sanggup beli makanan. Dan yang jelas, konsumtif bersifat sementara, hari ini punya, besok bisa tidak punya. Tetapi, ada sifat konsumtif yang memang kita perlukan. Konsumtif yang bagaimana? Dalam Mazmur 1: 1-2, ada satu kalimat yang menganjurkan untuk “konsumtif” terhadap firman Tuhan. Kalimat itu bunyinya kira-kira demikian, “berbahagialah orang yang kesukaannya adalah Taurat Tuhan”. Jika orang begitu kuat mengonsumsi apa yang menyenangkan dirinya, bukankah seharusnya kita pun punya sikap yang sama untuk mengonsumsi firman Tuhan dalam hidup? Mungkin banyak waktu yang kita pakai untuk aktivitas gerejawi: menjadi panitia Paskah, Natal, dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit pendeta yang mengonsumsi terlalu banyak waktu untuk berkhotbah. Namun ketika kita menggunakan banyak waktu untuk aktivitas gerejawi itu, muncul pertanyaan serius: Berapa banyak waktu yang kita pakai untuk mengonsumsi firman hidup? Ini penting direnungkan. Seorang pengkhotbah tentu bukan sekadar tukang khotbah, pasti ada saat jeda yang dia perlukan. Tapi, apakah saat menikmati waktu-waktu jeda itu dia duduk membaca, mengonsumsi firman Tuhan? Awas, kita tidak boleh terjebak pada aktivitas dan rutinitas sampai akhirnya lalai mengonsumsi kebenaran firman itu.

 Sekaitan dengan konsumsi firman, ada beberapa jenis orang yang kita kemukakan dalam kesempatan ini.
Jenis pertama, orang yang tidak mengenal Tuhan, dalam pengertian tidak “serius” dengan Tuhan. Dia ini orang Kristen, tetapi tidak “serius”. Orang seperti ini tidak menempatkan firman sebagai prioritas utama. Banyak aktivitas yang dia lakukan, tetapi apa yang dia dapat? Dia berjalan seperti yang dia mau. Orang seperti ini akan sulit diharapkan untuk bisa menghargai kebenaran dan cinta kasih. Orang seperti ini akan sulit diharapkan untuk melakukan sesuatu hal yang menyenangkan hati Tuhan. Dia tidak punya kekuatan untuk melakukan hal yang menyenangkan hati Tuhan, karena kurang “vitamin”. Dia kurang mengonsumsi firman Tuhan.
 Orang kedua adalah orang yang cukup aktif di gereja, dalam hal pelayanan di gereja. Tetapi ternyata dia tidak mengonsumsi firman Tuhan secara baik. Apa yang kita dapat dari orang seperti ini? Dia bisa saja sangat mudah tersinggung. Sedikit masalah bisa menjadi pertikaian, perselisihan dan ribut. Ini tentu aneh, sebab jika biasanya orang ributnya di luar gereja, maka orang ini ributnya di dalam gereja. Beginilah jadinya seseorang yang aktivitas gerejanya tinggi, tetapi kurang mengonsumsi firman Tuhan. Orang seperti ini tentu kurang bisa dipercaya.
 Yang ketiga, orang yang sudah sampai pada tahap bersaksi atau berkhotbah terlepas dari, apakah dia seorang pendeta atau bukan. Bahkan kesaksian atau khotbahnya bisa sangat bombastis, hebat, luar biasa, mengagumkan. Tetapi ketika orang-orang mengetahui perilakunya, orang-orang tentu kaget. Kok bisa begitu? Karena terlalu banyak pendengar yang membodohi dirinya sendiri, tidak kritis tentang apa yang dia dengar. Pendengar tidak bisa membedakan antara pembicara dengan kelakuannya. Yang kita dengar mungkin sebuah kebenaran, tetapi yang kita lihat mungkin sebuah kesalahan. Itu sebab Yesus berkata, “Lihat orang Farisi itu. Dengarkan apa yang dikatakannya, tapi jangan tiru kelakuannya!” Kok bisa begitu? Karena banyak orang menjadi “calo” rohani, ngomong hebat, mengantarkan orang ke surga, tetapi dia sendiri tidak sampai-sampai ke sana. Tetapi biarlah itu menjadi urusan masing-masing. Yang penting bagi kita adalah bisa memilah antara manusianya dan yang dibicarakannya. Jangan terjebak hanya karena mendengar apa yang dibicarakan, lalu kita menganggap sang pembicara itu manusia super, kemudian mengidolakannya, lalu lupa pada Tuhan. Orang yang pada tahap seperti ini sudah sampai pada tahap tinggi, bahkan sampai bisa “menghipnotis” pendengarnya. Tapi ternyata tidak sedikit yang sudah kronis, karena tidak mengonsumsi firman. Sehingga mereka merasa benar sendiri, tidak bisa dikritik, tidak bisa diomongin. Keyakinannya begitu tebal atas prinsip dan kebenaran dirinya. Jadi, dia benar sendiri. Kenapa bisa begitu? Sekali lagi, karena dia kurang mengonsumsi firman, sehingga dia tidak diseleksi, tidak dibersihkan, tidak digunting oleh firman itu. Dia tidak pernah bercermin. Yang dia lihat hanya dirinya, dan kebenaran dirinya berdasarkan jam terbang khotbahnya, dan aktivitas pelayanannya.Maka hati-hatilah menyikapi hal yang demikian.

Firman Tuhan itu berfungsi mengikis sifat-sifat yang kurang baik. Apalagi Alkitab berkata, bahwa firman itu akan memberikan kita bijaksana untuk mengoreksi diri, menunjukkan kesalahan sehingga kita bisa berubah. Tetapi kalau firman itu tidak kita konsumsi, wajar saja jika kemudian mendatangkan akibat-akibat yang fatal. Nah oleh karena itu, jangan hitung berapa banyak kegiatanmu di gereja. Jangan hitung berapa kali kamu berdiri untuk bersaksi. Jangan hitung berapa kali kamu berkhotbah dan berapa ribu orang yang mendengarkan. Tetapi coba hitung berapa banyak kamu mengonsumsi kebenaran firman Tuhan itu? Kamu akan menemukan kepuasan, kebahagiaan karenanya. (Diringkas dari kaset Khotbah Populer oleh Hans P.Tan)