Sunday, March 27, 2011

Musafir

Cipt.Pdt.Dr.Erastus Sabdono

Adalah kisah sebuah perjalanan
ke negeri yang indah yang di janjikan
lewat lembah gersangnya padang
oh, berat dan sukar lorong-lorongnya

Seorang musafir ditengah perjalanan
tertatih langkahnya bersimbah peluh
masihkah jauh lirih bisiknya
hati s'makin rindu sampai ke sana

Musafir itu kau dan aku
terpanggil dalam kemuliaan-Nya
janji Tuhanku bawa ku kesana
di belakang langit biru

Thursday, March 24, 2011

Anak-anak Allah

Baca: Matius 6:9–10
Alkitab dalam setahun: Lukas 4–5
Oleh : Pdt. Dr. Erastus Sabdono
From: Truth Daily Enlightenment

Tuhan Yesus mengajar agar orang percaya menyebut Allah sebagai Bapa. Tentu hal ini sangat beralasan, dan ada pelajaran rohani yang ingin diberikan-Nya melalui panggilan tersebut. Dengan memanggil Allah sebagai Bapa, Tuhan Yesus menunjukkan bahwa manusia adalah anak-anak Allah, sebab roh yang ada pada manusia adalah roh dari Allah (Kej. 2:7).
Pada waktu penciptaan, tatkala Tuhan menghembuskan nafas-Nya kepada manusia, saat itulah Ia memperanakkan makhluk yang disebut manusia itu. Tubuhnya dari tanah, tetapi isinya dari Allah. Dari hal ini kita mengerti mengapa ada filosofi menyatakan bahwa manusia adalah peletikan (bunga api) dari Allah. Di sini Allah digambarkan sebagai api besar, dan sebagian dari pijarannya menjadi manusia. Pandangan ini sesungguhnya kurang tepat, sebab manusia bukan Allah, tidak sehakikat dengan Allah dan tidak pernah akan menjadi Allah; tetapi bahwa manusia menerima sesuatu dari Allah, itu benar karena rohnya itu dari Allah.
Semua yang keluar dari Allah disebut anak-anak Allah, termasuk para malaikat yang juga memiliki roh dari Allah. Itulah sebabnya Ia disebut sebagai Bapa segala roh (Ibr. 12:9). Kata “Bapa” dalam teks ini terjemahan dari πατήρ (patér) yang juga berarti ayah dalam arti orang tua.
Tetapi kita perlu mencermati juga, bahwa sekalipun semua yang memiliki roh dari Allah adalah anak-anak Allah, Allah hanya mengakuinya selama makhluk ciptaan-Nya itu hidup di bawah penurutan kepada-Nya dan tunduk kepada kedaulatan-Nya. Begitu makhluk itu tidak lagi mau hidup di bawah kedaulatan-Nya, maka ia tidak lagi disebut anak-anak Allah.
Contohnya, dalam Kej. 6:1–4, keturunan Set disebut anak-anak Allah selama masih hidup dalam penurutan kepada-Nya, tetapi keturunan Kain disebut anak-anak manusia. Sejak terjadi kawin campur di antara keturunan Set dan keturunan Kain, Roh Allah pun undur, dan sejak itu tidak ada lagi manusia yang disebut anak-anak Allah kecuali umat Israel yang mau dituntun Taurat dan tunduk kepada-Nya.
Sejak karya keselamatan Kristus, kita dapat disebut anak-anak Allah lagi, dan sungguh-sungguh menjadi anak-anak Allah bila kita memberi diri dikembalikan kepada kualitas hidup semula sebagai manusia yang taat kepada kehendak Bapa. Bila kita mau taat kepada Allah, hidup dalam kedaulatan-Nya dan mau berdoa, “Datanglah Kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di Surga,” maka kita layak disebut anak-anak Allah.
Yang layak disebut Anak-anak Allah adalah yang mau hidup dalam kedaulatan-Nya.

Tuesday, March 22, 2011

Asuransi dan MLM

Apa Yang Salah Dari Asuransi Dan MLM?
Pdt. Bigman Sirait

Bapak Pengasuh, betapa senangnya jika dapat memiliki kesempatan menyampaikan kebingungan saya selama ini sebagai seorang Kristen. Saya ingin bertanya: 1)  Apakah yang harus saya lakukan sebagai seorang Kristen, ketika menerima penawaran mengikuti MLM yang selalu menggiurkan mendapat banyak peluang untuk mendapat penghasilan. Di sisi lain, bukankah hidup ini tidak semudah itu, walau kadang kebutuhan untuk segera dipenuhi sangat tinggi? 2) Mengikuti asuransi, memberi jaminan yang baik sebagai orang yang bijak untuk mengantisipasi setiap waktu yang tidak terduga, dan tidak menyulitkan orang lain, dari sisi keuangan, saat sakit atau pun meninggal. Tapi di sisi yang lain kadang itu membuat kita menjadi nyaman dan tidak terlalu menaruh penyerahan pada Tuhan yang memelihara. 3) Ada orang di sekeliling kita, yang selalu kesulitan. Ketika dia meminjam uang dia berjanji  akan mengembalikan, namun ternyata itu tidak dilakukan. Waktu berikutnya dia pun melakukan hal yang sama, dan kita merasa harus menolongnya dan dia berjanji menggantikan. Apakah ini sikap yang benar? Di sisi yang lain orang itu benar susah tapi tidak dapat menepati janjinya. Bagaimana pula menegurnya? Atau setiap pinjaman kita tidak perlu mengharapkan gantinya?
    Porni Latumenten
    Bekasi

SDR. Porni yang terkasih di  dalam Tuhan Yesus,  pertanyaan-pertanyaan yang Saudara sampaikan mari kita uraikan dengan baik untuk memperkaya logika pikir kita sesuai dengan keimanan kita.
Yang pertama soal MLM dengan tawaran yang menggiurkan. Saya pikir ini bukan soal MLM atau bukan MLM, melainkan soal sebuah penawaran kerja yang menjanjikan hasil yang besar. Adalah bijak untuk berhati-hati terhadap berbagai tawaran yang ekstra mengiurkan. Karena memang betul, mendapatkan keuntungan yang besar dalam waktu yang singkat bukanlah hal yang sederhana. Untuk itu saudara perlu menalar logika penawaran yang disampaikan. Produk apa yang ditawarkan, sistem apa yang diberlakukan, bagaimana dengan marketnya, dan kemungkinan untuk menciptakan transaksi. Perhatikan juga bonaviditas perusahaan yang menawarkan. Dan, yang tak kalah penting adalah ketentuan untuk bergabungnya. Karena bisa saja, apa yang saudara sebut sebagai MLM ternyata sebuah money game. Jadi harus jeli. Sudah banyak orang tertipu.
Jadi hati-hati jika diminta untuk menginvestasikan sejumlah uang. Bagimanapun juga, jika ada sebuah usaha yang bisa dengan mudah mendapatkan keuntungan besar, maka sulit membayangkan itu ditawarkan kepada umum. Jika memang betul mudah dan sangat menguntungkan pasti digarap sendiri. Sementara realita akan kebutuhan kita memang fakta yang tak terbantah, tapi juga bukan berarti cukup untuk menjadi alasan untuk segera mengiyakan. Karena jika itu suatu tawaran yang menjebak maka Saudara akan mengalami persoalan yang lebih parah. Ada sebuah slogan yang mengatakan “teliti sebelum membeli”, maka saudara juga harus menganalisis dengan seksama sebelum membuat keputusan. Alkitab juga mengajarkan pada kita azas kehati-hatian, seperti hati-hati terhadap perangkap ajaran sesat, dan yang lainnya.
Lalu soal asuransi. Seperti yang Saudara katakan, ada banyak keuntungan yang bisa didapatkan, karena itu asuransi adalah sesuatu yang perlu. Tetapi Saudara juga menjadi takut karena hal itu bisa jadi seperti sebuah jaminan yang membuat kita tidak lagi terlalu menaruh harapan kepada Tuhan.
Porni yang dikasihi Tuhan, jika memang kita memang tak beriman teguh kepada Tuhan, maka pendapat saya, hal apa pun akan menjadi bumerang. Jadi ini bukan soal asuransi. Bagaimana dengan tabungan atau deposito? Atau lebih ekstrim lagi, gaji tetap yang diterima setiap bulan, apalagi jumlahnya besar, pasti bisa menciptakan comfort zone bukan? Apakah karena bisa membuat kita terjebak kenyamanan lalu kita tak usah menerima gaji? Atau jangan mau gaji besar, cukup kecil saja agar bergantung kepada Tuhan? Tidak ada korelasi langsung dalam soal ini. Tetapi ini soal bagaimana sikap Saudara terhadap materi. Uang bukan persoalan, tetapi mencintai uang itu yang persoalan. Artinya, jika uang Saudara pakai sebagai alat, maka itu akan menjadi berkat bagi sesama. Namun jika uang menjadi penjamin hidup, itu sama saja dengan menuhankan uang, dan kita menjadi budak uang. Sikap terhadap uang itulah pointnya.     Ada banyak tokoh di Alkitab Perjanjian Lama (PL) seperti Abraham, Yusuf atau Daud yang menjadi raja. Atau di dalam Perjanjian Baru (PB), seperti Yusuf Arimatea yang memilki banyak properti, Kornelius yang kepala pasukan, atau Zakeus. Begitu pula banyak yang miskin, seperti janda miskin baik di PL maupun PB. Tak ada masalah dengan kekayaan atau kemiskinan, yang masalah adalah sikap mereka. Ayub berkata,  “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil”, dan Alkitab mencatat bahwa Ayub tidak bersalah atas ucapan itu. Yang kita sorot di sini adalah kemerdekaan Ayub atas harta bendanya yang banyak. Ada dinikmati, tidak ada tidak disesali.
Jadi sekali lagi Porni yang dikasihi Tuhan, bukan soal asuransi atau tabungan, melainkan sikap kita terhadap semuanya. Asuransi itu penting sebagai back up pada realita hidup yang tak menentu, tetapi bukan jaminan atas hidup masa depan kita. Asuransi atau deposito bukan dosa. Yang dosa adalah jika menjadikan semua itu jaminan hidup, atau masa depan. Penjamin hidup kita adalah Tuhan. Tetapi kita harus tertib dalam menjalani kehidupan ini. Simpan mana yang perlu, namun jangan segan membagikan pada yang memerlukan. Ini adalah seni kehidupan tertib.
Yang terakhir, soal pinjaman yang tak dikembalikan. Membaca apa yang Saudara sampaikan saya kira harus ada pelurusan fakta dulu. Saudara katakan orang yang meminjam berniat mengembalikan tetapi kemudian hari tidak dilakukan. Lalu bahkan berikutnya meminjam lagi, alias menumpuk hutang lama. Maka dari kasus yang ada dengan mudah kita melihat tidak ada niatan untuk mengembalikan, sekalipun tekad mengembalikan diucapkan. Dan ucapan janji mengembalikanpun pada akhirnya tak lebih dari basa-basi agar pinjaman berikutnya diberikan. Jika dia orang bertanggungjawab dan benar, maka ketika hutang pertama belum terlunasi, maka dapat dipastikan dia tak akan melakukan pinjaman lagi. Karena itu kita perlu jelas terhadap kasusnya, dan perlu tegas menyikapinya.
Jadi harus diingat, kita memang punya kewajiban untuk menolong orang yang kesusahan tetapi bukan untuk membuat kesusahan (hutang tertunggak dan menumpuk). Tapi di saat yang bersamaan kita juga harus menegakkan kebenaran dengan tidak membiarkan kesalahan. Maka teguran atas ketidaksungguhan untuk mengembalikan hutang sangatlah perlu, dan sudah seharusnnya. Ini adalah bagian dari sebuah proses pendidikan agar umat hidup benar. Jadi kebenaran itu mengasihi, namun juga menegur. Jadi tak salah menegur dalam hal ini. Bahwa dia tak bisa mengembalikan karena ada kesulitan lagi, maka seharusnya dia juga tidak meminjam lagi, karena itu pasti akan makin mempersulit dirinya sendiri.
Baiklah Porni yang dikasih Tuhan, semoga jawaban-jawaban yang telah disampaikan bisa menolong saudara untk mengambil sikap yang benar. Dan kiranya dapat juga menjadi berkat bagi saudara-saudara kita pecinta Reformata yang lainnya. Tuhan memberkati.

Monday, March 21, 2011

Marah


Penulis: Ayub Yahya 
from : (Renungan Harian)
Baca: Kejadian 4:1-16
Ayat Mas:
Efesus 4:26
Bacaan Alkitab Setahun: Hakim-hakim 10-12
Seorang ibu bercerita bahwa suaminya tanpa sepengetahuannya telah meminjamkan sejumlah besar uang kepada temannya. Teman suaminya itu rupanya tidak bertanggung jawab. Ia kabur begitu saja. Ibu ini jengkel sekali. Mengapa suaminya tidak memberi tahunya lebih dulu? Namun, nasi sudah menjadi bubur. Uangnya tidak bisa kembali. Lalu ibu itu bertanya, apakah sebagai orang kristiani ia boleh marah kepada suaminya?
Bagi sebagian orang, pertanyaan ibu itu mungkin terlalu sederhana. Namun itu kenyataan yang kerap terjadi, dan tidak boleh disepelekan. Sebab hal itu bisa terus mengganggu pikiran. Bolehkah seorang kristiani marah? Marah itu wajar. Hidup memang tidak selalu berjalan seperti yang kita harapkan. Orang-orang di sekitar kita juga tidak selalu berlaku seperti yang kita mau.
Sebagai orang kristiani, tidak salah apabila kita marah. Asal, marah untuk sesuatu yang tepat, dengan cara yang tepat, kepada orang yang tepat, dan di waktu yang tepat. Kerap yang menjadi masalah bukan marahnya, tetapi bagaimana dan untuk apa kita marah. Juga, jangan menyimpan kemarahan hingga menjadi dendam kesumat. Kemarahan yang disimpan justru akan merampas kebahagiaan kita—tidak ada orang yang bisa bahagia dengan terus menyimpan kemarahan dan dendam. Lebih dari itu, kemarahan yang terus disimpan hanya akan mendorong kita ke dalam jurang dosa. Peristiwa pembunuhan Habel oleh Kain, kakaknya, terjadi karena dipicu dan dipacu oleh kemarahan Kain yang terus dipendamnya, lalu dilampiaskan dengan membabi buta. Mari kita belajar mengelola amarah.

MARAH ITU TIDAK SALAH, KITA HANYA PERLU MENGELOLANYA