Sunday, April 12, 2009

Oikoumene dan masalah-masalah di sekitarnya (1)


Oikoumene dan masalah-masalah di sekitarnya (1)


Oleh: Pdt Budhiadi Henoch


PendahuluanGereja Kristen berasal dari Timur Tengah dan hadir di Indonesia sejak akhir abad XIV bersamaan dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa yang mencari rempah-rempah di Hindia Timur. Pada dasarnya gereja Kristen bersifat universal (meliputi umat manusia), tetapi juga partikular (bangsa dan suku bangsa). Karena itu kita mengenal gereja Kristen yang am (umum), yakni gereja yang meliputi bangsa-bangsa di dunia, di samping yang khusus misalnya Gereja Kristen Indonesia (nasional) dan gereja-gereja suku Batak, Toraja dan Minahasa. Kendati gereja-gereja suku itu pun membuka diri menerima anggota-anggotanya dari suku lain.
Dalam pengamalan kehidupan gereja, tugas gereja tak hanya mengurus urusan di sorga, sesudah orang meninggal dunia, tetapi juga mengurus urusan di dunia, selagi orang masih hidup sekarang ini. Itulah sebabnya, gereja juga terpanggil untuk ikut serta membangun bangsa, negara dan masyarakat, di mana gereja itu ditempatkan Tuhan. Keterlibatan dalam pembangunan benar-benar dinampakkan; kepedulian terhadap masalah kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan juga dinyatakan; sikap kritis terhadap masalah keadilan, pemerataan dan kesejahteraan ditampilkan, karena memang begitu seharusnya kehidupan gereja dan orang-orang Kristen yang menjadi anggotanya. Landasannya: pesan Tuhan Yesus, agar apa yang telah dilakukan-Nya dilanjutkan oleh para pengikut-Nya (Lukas 4:18-21; Yohanes 13:12-17).
Berikutnya, gereja Kristen bukan lembaga eksklusif atau isolatif, yang menutup diri dan tidak berhubungan dengan pihak-pihak lain, sebaliknya, bahwa gereja Kristen itu inklusif dan partisipatif, terhisap dan terlibat dalam menanggulangi problem-problem sosial kemasyarakatan bekerja sama dengan pihak-pihak lain, baik pemerintah, maupun kelompok-kelompok masyarakat yang lain.
Dengan memperhatikan prinsip hidup dan hakekat gereja Kristen, maka gereja Kristen adalah mitra pemerintah dan mitra kelompok-kelompok masyarakat dalam kaitan dengan hal-hal yang konstruktif.
Selanjutnya, secara khusus dan sempit hendak difokuskan perhatian kita kepada lingkungan gerejawi dan Kristiani dari gereja Kristen itu sendiri. Maksudnya siapa dan bagaimana gereja itu dan siapa dan bagaimana kelompok Kristen itu. Hal itni penting, mengingat ada begitu banyak denominasi (aliran) gereja, padahal semuanya menyatakan diri sebagai kelompok Kristen. Untuk orang Kristen sendiri sering ‘merk’ gereja yang begitu banyak amat membingungkan, apalagi untuk orang non-Kristen. Itulah sebabnya perlu ada penjelasan.
PengertianDi tengah begitu banyak gereja Kristen dengan pelbagai nama dan sejarah asal-usul, pembentukan dan berdirinya masing-masing, ternyata muncul kata ‘oikoumene’ yang menyatakan kerinduan semua gereja itu untuk mempersekutukan diri dalam semangat kerja sama dan saling membantu. Oikoumene bersal dari dua kata Yunani ‘oikos’ (rumah) dan ‘menein’ (tinggal) yang secara harafiah berarti ‘tinggal bersama dalam satu rumah’. Selanjutnya, pemahaman terhadap kata oikoumene diperluaskan meliputi seluruh dunia dan semua manusia. Sekalipun dalam arti sempit hendak mengungkapkan suasana bersekutu dan bersaudara dalam lingkungan gereja dan orang Kristen. Secara populrer dipahami di tengah jemaat-jemaat Kristen, bahwa ‘oikoumene’ adalah apabila selaku orang yang sama-sama mengakui Tuhan Yesus dan Juru selamat dapat mengusahakan kerja sama dan persekutuan anak-anak dari satu Bapa.
Banyak anggota, tetapi tubuh satuPesan dalam Alkitab sudah jelas, bahwa tubuh Kristus hanya satu saja, sedang anggota-anggotanya banyak dan semuanya dipersatukan dalam satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan (I Korintus 12:12-27; Efesus 4:3-6). Juga Tuhan Yesus melukiskan persekutuan itu dalam perumpamaan pokok anggur yang benar dengan ranting-rantingnya (Yohanes 15:1-8); kawanan domba yang dipimpin oleh seorang Gembala yang baik yakni Tuhan Yesus sendiri (Yohanes 10:10b-14); Ia pun mendoakan, ‘supaya semuanya menjadi satu’ (Yohanes 17:21).
Dalam wujud gereja dan kesatuan-kesatuan organisasi gereja, ternyata sejarah mencatat ada begitu banyak kesatuan organisasi gereja di dunia dan di Indonesia, sehingga sering membuat orang bertanya: kenapa gereja tidak satu saja organisasinya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menelusuri jejak-jejak sejarah gereja sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang ini. Boleh dikatakan, bahwa gereja memang mengalami proses kehidupan yang tidak selalu mulus. Ada banyak persoalan dan pergumulan yang susul-menyusul, sehingga membentuk — berdasarkan pokok-pokok ajarannya masing-masing — adanya denominasi (aliran) gereja. Itulah yang kemudian diwariskan kepada kita yang hidup pada masa kini.
Kita bayangkan, bahwa gereja mengalami pergumulan ajaran gereja sejak tahun-tahun permulaan kehadiran gereja. Kita mengenal tokoh-tokoh seperti Augustinus, Origenes, Tertullianus, Athanasius dll., dengan kemahirannya masing-masing dalam menghayati ajaran gereja. Lalu tersusunlah Pengakuan Iman Rasuli pada sekitar abad IV Masehi. Kemudian sampailah pada Skisma (Perpecahan) Pertama pada tahun 1054 dan terbentuk gereja Yunani Katolik dan Roma Katolik dengan kekhususannya masing-masing. Pada tanggal 31 Oktober 1517 Martin Luther memulai Reformasinya dengan memasang 95 dalil di pintu gereja Wittenberg di Jerman dan muncul aliran Protestan. Lalu pada tahun 1534 hadir gereja Anglican yang tidak berangkat karena perbedaan ajaran, tetapi usaha Raja Henry VIII dalam memikirkan suksesi bagi takhtanya. Sesudah itu bermunculanlah aliran-aliran gereja baru di kalangan kaum Protestan, sehingga makin ramailah suasana kehidupan gereja Protestan dan orang lain menyebutnya sebagai ‘penyakit Protestanisme’ yakni perpecahan demi perpecahan. Maka kita mengenal aliran-aliran seperti Lutheran, Calvinis dengan Reformed dan Re-reformed (Gereformeerd)-nya, Baptis, Methodis dengan perpecahan berikutnya Bala Keselamatan, Pentakosta, Adven, Injili dll.
Sesudah hadir begitu banyak gereja dengan namanya masing-masing, maka datanglah kerinduan untuk bersekutu dalam wadah oikoumenis. Maka muncullah World Council of Churches (Dewan Gereja Se-Dunia, DGD) pada tahun 1948 di Amsterdam, negeri Belanda, sebagai wadah gereja-gereja yang bersatu. Dalam perkembangan ternyata muncul pula International Council of Churches (Dewan Gereja Internasional), yang tentu saja mengurangi makna kebersatuan semua gereja Kristen di dunia ini. Tak juga boleh dilupakan munculnya World Alliance of Refoormed Churches (WARC), Reformed Ecumenical Synod (REC), Lutheran World Federation (LWF) yang mengharubirukan suasana oikoumenis yang mendunia menjadi tersekat-sekat kembali. Dalam tingkat regional hal itu kita jumpai dalam wujud Christian Conference of Asia (CCA) dan tentu juga ada ikatan-ikatan gereja di benua-benua yang lain yang dibentuk karena alasan geografis.
Di Indonesia kita mengenal wadah oikoumenis yakni Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI, dahulu DGI atau Dewan Gereja-gereja di Indonesia), berdiri pada tanggal 25 Mei 1950. PGI meliputi sekitar 80% orang Kristen Protestan di Indonesia. Ternyata hadir pula Dewan Pentakosta Indonesia (DPI), Persekutuan Injili Indonesia (PII), Gabungan Gereja-gereja Baptis (GGB) dll, masuk semuanya pada aras nasional Indonesia. Adakah semua gereja telah masuk dalam wadah-wadah oikoumenis di tingkat nasional itu? Dalam kenyataannya tidak, ibarat 10 tak habis dibagi 3, begitulah sifat gereja dan orang Kristen, sehingga ada saja yang tercecer, tidak masuk dalam salah satu wadah tersebut.
Dengan memperhatikan data-data di atas, pahamlah kita bahwa gereja-gereja baik di tingkat internasional, nasional, regional maupun lokal berkecenderungan seperti pendulum, goyang ke kanan dan kekiri secara timbal balik. Pada saat tertentu ingin gabung dan beroikoumene, pada saat yang lain ingin sendiri-sendiri.
Kita berharap bahwa prinsip ‘banyak anggota, tetapi satu tubuh’ selalu kita jadikan pegangan untuk beroikoumene. Karena prinsip inilah yang sesungguhnya dirindukan juga oleh Tuhan Yesus yang menjadi Raja kita semua.

Note : Penulis adalah Pdt.Em.Budhiadi Henoch dari GKI Cibunut Bandung, saya post artikel ini karena tertarik untuk di pahami tentang oikumene tsb, Tuhan Yesus memberkati Pelayanan Om Henoch dan Keluarganya, Amin.

Oikoumene dan masalah-masalah di sekitarnya (2)


Oikoumene dan masalah-masalah di sekitarnya (2)


Oleh: Pdt Budhiadi Henoch


Gereja, kelompok persekutuan dan bidatDefinisi “gereja” dijelaskan dalam prinsip dan hakekat gereja yakni “persekutuan orang-orang yang dipanggil untuk dijadikan milik Tuhan”. Definisi ini diambil dari kata Yunani ekklesia (ek-kaleo, memanggil keluar) dan kuriake atau kuriakon (milik kurios yaitu Tuhan). Selanjutnya gereja mewujudkan persekutuan dan melakukan panggilannya dalam bersaksi dan melayani. Itu berarti gereja membentuk organisasinya lengkap dengan perangkat kepengurusannya; ada kegiatan yang dilakukan oleh para anggota jemaatnya yang disebut pelayanan, baik berupa ibadah rutin pada hari Minggu (Domingo, hari Tuhan) untuk memperingati kebangkitan Tuhan Yesus dari antara orang mati, maupun kegiatan yang sesuai dengan tugasnya.
Kelompok-kelompok persekutuan biasanya muncul dalam kehidupan di tengah jemaat sesuatu gereja, terdiri dari anggota-anggota jemaat yang merasa perlu mengoreksi, melengkapi dan mencari bentuk-bentuk kegiatan baru, menyimpang dari program gerejanya. Mula-mula kegiatan mereka adalah berdoa, sehingga sebutan awal mereka adalah kelompok persekutuan doa. Dalam perkembangan diperluaskan dengan kegiatan-kegiatan lain seperti berbahasa lidah, penengkingan setan, baptisan Roh Kudus, kesembuhan, nubuat, perjamuan kudus, baptisan air (selam) dll. Kelompok tersebut sering merasa terpanggil untuk menjadi “garam gereja” (bukan garam dunia) dan terbeban untuk mengoreksi gereja karena kesuaman dan merosotnya iman jemaat, tak terkecuali menuding pula iman pendetanya. Kegiatan-kegiatan yang paralel dengan gereja itu memberi kesan terbentuknya “gereja di dalam gereja”. Bila kelompok ini sudah merasa maju, mereka menyebut dirinya sebagai kelompok kharismatik (kharisma = karunia), yang merasa punya kelebihan karunia rohani ketimbang anggota jemaat pada umumnya.
Bagaimana gereja resmi mengambil sikap terhadap kelompok persekutuan ini? Pada umumnya tidak mengambil sikap drastis, namun menjelaskan kepada seluruh anggota prinsip-prinsip Alkitabiah mengenai karunia-karunia, sebagaimana diberitakan khususnya dalam 1 Korintus 12-14 itu. Pada sisi lain, menasehati pengikut kelmpok itu untuk taat pada Tata Gereja yang berlaku, apabila yang bersangkutan masih ingin menjadi anggota dari jemaat tersebut. Dalam hal ini terasa sulit menghadapi dualisme pandangan mereka, mengingat yang bersangkutan sering ingin tampil beda dengan apa yang menjadi pola hidup jemaat itu, namun mereka juga ingin tetap menjadi anggotanya. Mungkin karena alasan emosional, mungkin juga karena “nama besar” dari jemaat itu.
Dalam praktek mereka tidak hadir lagi di tengah kehidupan jemaat asal mereka, karena acara hidup mereka kini lebih banyak dalam lingkungan persekutuan. Dapatkah dikatakan bahwa mereka undur secara diam-diam? Mungkin benar demikian. Agaknya, pimpinan gereja perlu secara lebih tegas mengambil tindakan terhadap mereka, agar posisi dan status mereka jelas: kehidupan rohani mereka tidak lagi menjadi tanggung jawab gereja asal mereka.
Berikutnya berbicara tentang bidat-bidat cukup gamblang, sebab bidat-bidat itu sebenarnya bukan Kristen, kendati mereka menggunakan Alkitab kita dan memasang nama “Tuhan Yesus” atau sebutan “Kristen” untuk golongan mereka itu. Bidat-bidat yang lazim disebut adalah Saksi Yehova yang sering pula memakai nama “siswa-siswa Alkitab”, ilegal di Indonesia; Gereja Yesus Kristus dari Orang Suci Zaman Akhir yakni aliran Mormon dengan pusatnya di Salt Lake City, Utah (USA), legal di Indonesia; Christian Science (Ilmu Pengetahuan Kristen), legal di Indonesia; Children of God (Anak-anak Allah), yang pernah menghebohkan masyarakat Indonesia pada tahun 1984 dan sejak saat itu dilarang dan lain-lain. Dalam praktek kehidupan gereja secara tidak pasti kadang-kadang muncul aliran aneh seperti Aliran Tubuh Kristus di Jakarta dengan cara berdoa nungging, anti materi dan menganggap tak perlu gereja. Terhadap semua bentuk peyimpangan dari budaya dan kehidupan gereja yang umum, hendaknya kita mewaspadainya.
Sekarang kita telah paham bahwa gereja, kelompok persekutuan dan bidat mempunyai definisinya masing-masing. Masalahnya: dapatkah kita melaksanakan tugas secara kritis mengamati setiap ajaran gereja yang disampaikan oleh para pengajar misalnya pendeta, penatua, penginjil dan lain-lain? Juga beredar di luar dan masuk ke dalam gereja kita? Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik (1 Tesalonika 5:21)


Note : Penulis adalah Pdt.Em.Budhiadi Henoch dari GKI Cibunut Bandung, saya post artikel ini karena tertarik untuk di pahami tentang oikumene tsb, Tuhan Yesus memberkati Pelayanan Om Henoch dan Keluarganya, Amin.

Oikoumene dan masalah-masalah di sekitarnya (3)


Oikoumene dan masalah-masalah di sekitarnya (3)


Oleh: Pdt Budhiadi Henoch

Sejarah gerakan oikoumenisSebenarnya kesadaran untuk mempersatukan diri dalam kesatuan gereja secara oikoumenis sudah muncul bersamaan dengan kesadaran bahwa perpecahan gereja adalah tak dikehendaki Tuhan. Hugo de Groot berusaha mendamaikan gereja Roma Katolik dengan gereja-gereja reformatoris. Juga Friedrich Wilhelm III dari Prusia yang menghimpun orang ‘Lutheran’ dan ‘Reformatoris’ dalam gereja kesatuan. Namun usaha itu tak berhasil sehingga suasana tak bersekutu terus berlangsung.
Perkembangan kehidupan gereja-gereja di pelbagai tempat pada kurun waktu berikutnya telah menghangatkan lagi dan memungkinkan gerakan oikoumenis dapat berkembang dengan baik, antara lain lewat lembaga-lembaga Alkitab (1804), aliansi Evangelis (1846), YMCS (1855), YWCA (1884), WSCF (1895), konperensi Lambeth yang menghimpun para uskup dari gereja Anglican (1867) dan selanjutnya konperensi Pekabaran Injil Internasional di Yerusalem (1928) dan Tambaran (1938). Memang ada peristiwa-peristiwa lain yang mendorong terciptanya suasana yang baik untuk gerakan oikoumenis. Tak terkecuali, yang dikenal sebagai bapak gerakan oikoumene, Dr John R. Mott (25 Mei 1865 – 31 Januari 1955) melakukan kegiatan-kegiatan oikoumenis secara lebih luas lagi, sehingga makin semaraklah semua usaha oikoumenis sampai terbentuknya Dewan Gereja-Gereja Sedunia di Amsterdam (1948). Ialah yang pernah berucap: “Tuhan Allah telah mengerjakan hal-hal besar bagi kita, sebab itu kita pun berhutang untuk mengerjakan hal-hal besar bagi-Nya.”
Bagaimana dengan Indonesia? Orang Kristen Indonesia telah ikut serta dalam berbagai pertemuan internasional pada masa lalu dan meningkatkan kesadaran oikoumenisnya antara lain dengan menyelenggarakan konperensi mahasiswa Kristen internasional di Citeureup (1933), ikut serta dalam konperensi Pekabaran Injil di Whitby (Kanada) dan konperensi pemuda Kristen di Oslo (1947), ikut dalam pembentukan Dewan Gereja Sedunia di Amsterdam (1948) dan ikut membentuk East Asia Christian Conference (EACC, kini CCA) di Bangkok (1949). Dengan pelbagai pengalaman beroikoumenis itu wajar apabila gerakan oikoumenis di Indonesia pun berkembang sampai terbentuknya Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI, kini PGI) pada tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta.
Selanjutnya menjadi tugas kita pada masa kini untuk melestarikan gerakan oikoumenis sebagaimana telah dirintis oleh para pendahulu kita seperti W.J. Rumambi, T.B. Simatupang dan lain-lain. Gerakan oikoumenis masih berlanjut dan akan mempunyai bentuk-bentuknya yang baru sesuai dengan perkembangan zaman. Seminar Pertumbuhan Gereja pada tahun 1989 diadakan di Jakarta dengan tokoh-tokoh gerakan oikoumenis pada masa kini mulai bermunculan. Amat diharapkan bahwa mereka dapat mengembangkan roh oikoumenis sesuai dengan zamannya, sehingga gereja dan denominasi pada masa kini dapat memikirkan langkah-langkah bersamanya dengan baik.
Syarat-syarat beroikoumeneTentu untuk dapat mewujudkan suasana oikoumenis yang baik diperlukan pemenuhan syarat-syaratnya. Kita mencoba dengan mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

- Jangan memandang gereja/denominasi-ku lebih baik dan lebih superior dari yang lain, sebaliknya hendaknya saling membangun (Efesus 4:11-16).
- Akuilah mereka sebagai saudara seiman yang sepihak dengan kita (Markus 9:40; Lukas
9:50; Matius 12:30).
- Berilah toleransi untuk kekurangan pihak lain dan terimalah kelebihan pihak lain dengan hati terbuka.
- Pandanglah ladang bersama, sehingga dapat bersama-sama melayani pekerjaan Tuhan yang semakin luas dan berat. Tak usah berebut ‘domba’, sebab sesungguhnya ‘dombaku’ dan ‘dombanya’ adalah hamba Tuhan Yesus.

Kita berharap bahwa kita taat azas untuk melaksanakan kesediaan beroikoumene bersama pihak-pihak lain. Carilah persamaannya, sehingga di samping membangkitkan simpati juga meniadakan kecurigaan. Jangan terhambat oleh perbedaan, kendati tak menutup mata terhadap adanya perbedaan itu. Usahakan agar dapat melakukan pekerjaan bersama pihak lain yang gilirannya juga dapat bekerja sama dengan pemerintah. Kesemuanya itu dilandasi dengan semangat kerukunan. Ingat tri-kerukunan: kerukunan intern umat beragama, kerukunan antara umat beragama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah.
Untuk selanjutnya silahkan menyusun program kerja yang bersifat oikoumenis agar seluruh kegiatan gerejawi yang kita laksanakan benar-benar mewujudkan kerinduan yang mendalam beroikoumene. Hasilnya akan dapat kita nikmati bersama baik dilingkungan gereja khususnya maupun di lingkungan masyarakat pada umumnya.
PenutupPada akhirnya langkah beroikoumene kita amat bergantung pada kesediaan setiap orang yang terlibat di dalamnya, dinyatakan dengan tulus hati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Sampai pada titik ini kita tak dapat menentukan lebih dahulu sebelum teruji di medan pelayanan dan kehidupan gerejawi kita setiap hari. Singkatnya: Jangan kita berkata saja, tetapi juga bertindak nyata dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat kita. Kesemuanya itu akan dinilai oleh semua orang yang memiliki kepedulian terhadap permasalahan oikoumene tersebut.


Note : Penulis adalah Pdt.Em.Budhiadi Henoch dari GKI Cibunut Bandung, saya post artikel ini karena tertarik untuk di pahami tentang oikumene tsb, Tuhan Yesus memberkati Pelayanan Om Henoch dan Keluarganya, Amin.