Oleh : Pdt. Dr.Erastus Sabdono
From : Truth Daily
Baca: Ibrani 5:7
Alkitab dalam
setahun: Markus 14
Mengapa Tuhan Yesus bangkit? Apakah
karena kuasa Allah yang luar biasa yang membangkitkan-Nya? Kalau karena kuasa
Allah yang membangkitkan tanpa mempertimbangkan kelakuan dalam kehidupan Tuhan
Yesus, maka berarti Allah tidak adil dan nepotisme. Sejatinya Tuhan Yesus
bangkit karena Tuhan Yesus “saleh”. Dalam Ibrani 5:7 tersurat, “Dalam
hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan
ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut,
dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan.” Perhatikan kalimat “karena
kesalehan-Nya Ia telah didengarkan.” Kalau Tuhan Yesus tidak saleh Ia akan
tetap ada dalam kubur. Jadi kebangkitan Tuhan Yesus adalah prestasi-Nya sendiri
yang menyediakan diri untuk hidup dalam kesalehan. Kebangkitan-Nya bukti bahwa
ia “lulus”, taat kepada Bapa, taat sampai mati bahkan mati di kayu salib. Itu adalah
prestasi-Nya sendiri. Maksudnya bahwa Bapa tidak memberikan kemudahan-kemudahan
agar Ia dapat menang atau bisa hidup saleh dengan mudah. Alkitab menegaskan
bahwa “dalam segala hal Ia disamakan dengan saudara-saudaraNya,” Yang
dimaksud dengan “saudara” disini adalah manusia (Ibr. 2:17). Ia juga walaupun
Anak (Anak Tunggal Allah), Ia belajar taat dari apa yang diderita-Nya (Ibr.
5:8). Dalam hal ini kita bisa mengerti mengapa Ia sampai menaikkan doa dengan
ratap tangis dan keluhan.
Kata saleh dalam teks aslinya adalah
prosenengkas (προσενέγκας,)
dari akar kata prospheno (προσφέρω) yang lebih bisa berarti menyerahkan diri atau
mengarahkan diri (to bear towards; bring (to, unto), deal with, do, offer
(unto, up), present unto, put to). Tentu maksud mengarahkan diri atau
menyerahkan diri di sini adalah mengarahkan diri atau menyerahkan diri kepada
kehendak Allah Bapa. Hal ini sebenarnya menunjuk pada pengakuan Tuhan Yesus di
Taman Getsemani bahwa Ia menyerah kepada kehendak Bapa, bukan kehendak-Nya
sendiri. Dalam hal ini kita menemukan kehidupan Tuhan Yesus yang diarahkan
sepenuh kepada kehendak Bapa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tuhan Yesus
sebelumnya, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan
menyelesaikan pekerjaan-Nya,” (Yoh. 4:34). Filosofi ini bertentangan atau
kebalikan dari filosofinya Lusifer. Filosofi Lusifer adalah, “Aku hendak
naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi,” (Yes.
14:14). Dua pribadi yang sangat kontras. Orang percaya ditantang hendak memilih
yang mana? Mau ikut siapa? Setiap orang harus menentukan sikap, tidak bisa
menghindarinya.
Kepada
siapa Anda serahkan diri Anda?
Hanya
ada dua pilihan, Tuhan Yesus atau Lusifer.
No comments:
Post a Comment