Oleh: Pdt.Dr.Erastus Sabdono
From Truth Daily Enlightenment
Baca: Mazmur 73:18–20
Alkitab dalam setahun: Mazmur 119:1–88
Tujuh puluh tahun usia hidup manusia
sangatlah singkat bila dibandingkan dengan kekekalan. Dalam tulisannya,
Pemazmur menyatakan, “Seperti mimpi pada waktu terbangun, ya Tuhan, pada waktu
terjaga, rupa mereka Kaupandang hina” (ay. 20). Suatu hari nanti, ketika
seseorang terjaga di kekekalan, sadarlah mereka bahwa hidup ini seperti mimpi
belaka. Tetapi terlambat sudah; rupa mereka dipandang hina oleh Tuhan. Artinya
keadaan rohani mereka tidak indah di mata Tuhan.
Kata rupa dalam teks ini dalam
bahasa aslinya adalah צֶּלֶם (tsélém) yang juga merupakan kata yang digunakan
untuk menggambarkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah
dalam Kej. 1:26, atau aslinya צֶּלֶם (tsélém) dan דְּמוּת (demûth). Tsélém
hendak menunjuk gambar dalam arti unsur-unsur dasar yang dimiliki Allah juga
dimiliki manusia—yaitu pikiran, perasaan, kehendak, kekekalan dan hakikat
kerja. Sementara demûth menunjuk keserupaan, dalam arti kualitas unsur-unsur
tersebut.
Eloknya wajah kita di kekekalan
diukur dari kualitas tsélém kita, yaitu apa yang ada di dalam jiwa
kita—pikiran, perasaan dan kehendak kita.
Jadi kalau selama hidup di dunia ini kita tidak memedulikan wajah batiniah kita
tersebut, jangan heran jika setelah meninggal rupa kita tidaklah elok di mata
Tuhan.
Seperti apakah sikap dan perbuatan
yang menelantarkan tsélém atau wajah batiniah itu? Misalnya, sibuk mendandani
wajah lahiriah dengan segala perhiasan fisik tetapi abai bahwa wajah batiniah
juga harus didandani. Atau, sibuk memperkaya diri dengan segala fasilitas
duniawi, namun lalai mengumpulkan harta di surga, yaitu keindahan manusia
batiniahnya.
Contoh orang yang menelantarkan
tsélém-nya adalah orang kaya dalam kisah orang kaya dan Lazarus di Luk.
16:19–31. Setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. Tidak bisa dibayangkan,
saat hidup di dunia ini berakhir, betapa menyesal hatinya karena kedatangan
Lazarus ke rumahnya sebenarnya merupakan kesempatan supaya ia dapat menghiasi
jiwanya dengan perhiasan yang berharga di mata Allah. Ia telah menyia-nyiakan
kesempatan itu; tidak ada lagi kesempatan yang lain. Selama hidup, ia berpikir
wajar seperti orang lain umumnya. Ia merasa dirinya sangat realistis, tetapi
saat menyaksikan kekekalan, barulah ia celik bahwa sesungguhnya ia tidak
berpikir realistis. Ia baru sadar bahwa selama di dunia hidupnya hanya fantasi.
Akhirnya semua yang dimilikinya lenyap dan rupanya dipandang hina.
Utamakan
mendandani wajah batiniah kita selama masih ada kesempatan.