Thursday, June 24, 2010
Salah Melihat
Salah Melihat
Bacaan hari ini: Matius 7:1-5
Ayat mas hari ini: Matius 7:3
Bacaan Alkitab Setahun: Ester 3-5; Kisah Para Rasul 5:22-42
Sir Percival Lowell adalah astronom ternama pada akhir abad ke-19. Ketika melihat planet Mars dari teleskop raksasa di Arizona, ia melihat ada garis-garis di planet itu. Menurutnya, itu adalah kanal-kanal buatan makhluk planet Mars. Lowell mengabdikan seluruh hidupnya untuk memetakan garis-garis itu. Namun, foto satelit kini membuktikan tidak ada kanal di Mars. Lantas apa yang dilihat Lowell? Ternyata ia melihat pembuluh-pembuluh darah di matanya sendiri saat melihat teleskop! Ia menderita penyakit langka yang kini disebut “Sindrom Lowell”.
Sama seperti Lowell, kita pun bisa salah memandang orang lain. Sifat-sifat buruk orang lain tampak begitu besar dan nyata, sehingga kita terdorong untuk menegur dan menghakiminya. Padahal tanpa sadar kita pun punya sifat buruk itu, bahkan mungkin lebih parah! Ini ibarat orang yang mau mengeluarkan serpihan kayu dari mata orang lain, padahal ada balok di matanya sendiri. Sebuah perbuatan munafik yang tidak akan berhasil. Seseorang harus menyadari dulu sifat-sifat buruknya sendiri, lalu berusaha mengatasinya. “Balok di matanya” harus dikeluarkan, sebelum bisa menegur orang dengan penuh wibawa.
Sikap suka menghakimi kerap muncul dalam keluarga. Bisa terjadi dalam hubungan antara orangtua dan anak, atau suami dan istri. Kedekatan membuat kita sangat mengenal cacat cela orang-orang yang kita kasihi. Akibatnya, kita menjadi sangat mudah menemukan kesalahan mereka. Ini yang harus kita waspadai. Lain kali, sebelum menuduh dan mencaci-maki, periksalah diri sendiri dulu. Belum tentu kita lebih baik dari mereka. Jadi, lebih baik saling menasihati daripada saling menghakimi.
Dengan menghakimi kita merasa diri hebat
Dengan saling menasihati kita akan merasa diri sederajat
Penulis: Juswantori Ichwan
Kena Batunya
Kena Batunya
Bacaan hari ini: 2 Samuel 9
Ayat mas hari ini: 2 Samuel 5:8
Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 1,2; Kisah Para Rasul 7:22-43
Pengalaman buruk tertentu bisa membuat orang sentimen setengah mati kepada sesuatu atau seseorang. Sebagai contoh, karena pernah ditipu orang dari suku tertentu, seseorang menjadi benci pada semua orang dari suku itu; gusar pada segala hal yang berbau suku tersebut. Padahal itu penyamarataan yang keliru.
Dulu, ketika hendak menyerang Yerusalem, Daud pernah dihina orang Yebus, penduduk Yerusalem. Mereka menyebutnya pecundang; yang akan dikalahkan orang-orang buta dan timpang. Daud pun merasa harga dirinya diinjak-injak. Dan sejak itu, ia menjadi benci pada orang-orang timpang dan buta (2 Samuel 5:8). Namun, di kemudian hari Tuhan mengizinkan sesuatu yang aneh terjadi. Ketika ia bertekad memenuhi janji kepada sahabatnya Yonatan yang telah meninggal, yaitu menunjukkan kasih kepada keturunannya, dibawalah kepadanya anak Yonatan yang bernama Mefiboset—yang timpang kakinya! Demi membuktikan tekadnya untuk mengasihi, setiap hari Daud makan semeja dengannya. Lantas kita katakan: Daud kena batunya.
Perasaan sentimen bisa jadi cukup akrab dengan kita. Padahal perasaan itu menghalangi kita untuk bersikap adil dan mengasihi. Sentimen membuat kita cenderung menyamaratakan; pukul rata saja. Akibatnya, mungkin ada pihak tak bersalah yang jadi sasaran. Belum lagi jika perasaan sentimen itu kita tularkan pada orang-orang di sekeliling kita. Semua jadi ikut curiga, takut, dan tendensius akibat sebuah sentimen pribadi.
Mari bersikap lebih jujur dan adil dengan belajar mengatasi sentimen pribadi. Tak perlu menunggu sampai Tuhan mengizinkan pengalaman serupa Daud terjadi pada kita, bukan?
KASIH KERAP KALI PERLU DITUNJUKKAN DENGAN BUKTI
KHUSUSNYA PADA ORANG YANG KITA KECUALIKAN UNTUK DIKASIHI
Penulis: Pipi Agus Dhali
Bacaan hari ini: 2 Samuel 9
Ayat mas hari ini: 2 Samuel 5:8
Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 1,2; Kisah Para Rasul 7:22-43
Pengalaman buruk tertentu bisa membuat orang sentimen setengah mati kepada sesuatu atau seseorang. Sebagai contoh, karena pernah ditipu orang dari suku tertentu, seseorang menjadi benci pada semua orang dari suku itu; gusar pada segala hal yang berbau suku tersebut. Padahal itu penyamarataan yang keliru.
Dulu, ketika hendak menyerang Yerusalem, Daud pernah dihina orang Yebus, penduduk Yerusalem. Mereka menyebutnya pecundang; yang akan dikalahkan orang-orang buta dan timpang. Daud pun merasa harga dirinya diinjak-injak. Dan sejak itu, ia menjadi benci pada orang-orang timpang dan buta (2 Samuel 5:8). Namun, di kemudian hari Tuhan mengizinkan sesuatu yang aneh terjadi. Ketika ia bertekad memenuhi janji kepada sahabatnya Yonatan yang telah meninggal, yaitu menunjukkan kasih kepada keturunannya, dibawalah kepadanya anak Yonatan yang bernama Mefiboset—yang timpang kakinya! Demi membuktikan tekadnya untuk mengasihi, setiap hari Daud makan semeja dengannya. Lantas kita katakan: Daud kena batunya.
Perasaan sentimen bisa jadi cukup akrab dengan kita. Padahal perasaan itu menghalangi kita untuk bersikap adil dan mengasihi. Sentimen membuat kita cenderung menyamaratakan; pukul rata saja. Akibatnya, mungkin ada pihak tak bersalah yang jadi sasaran. Belum lagi jika perasaan sentimen itu kita tularkan pada orang-orang di sekeliling kita. Semua jadi ikut curiga, takut, dan tendensius akibat sebuah sentimen pribadi.
Mari bersikap lebih jujur dan adil dengan belajar mengatasi sentimen pribadi. Tak perlu menunggu sampai Tuhan mengizinkan pengalaman serupa Daud terjadi pada kita, bukan?
KASIH KERAP KALI PERLU DITUNJUKKAN DENGAN BUKTI
KHUSUSNYA PADA ORANG YANG KITA KECUALIKAN UNTUK DIKASIHI
Penulis: Pipi Agus Dhali
Subscribe to:
Posts (Atom)