Buang Rasa Khawatir, Jangan Tumpuk Harta
Oleh : Pdt. Bigman Sirait
HARTA adalah anugerah Allah kepada manusia untuk menghidupi hidup-nya. Harta adalah sesuatu yang Tuhan sediakan. Di Mazmur 127 dikatakan bahwa ketika kita masih tidur Tuhan sudah menyediakan roti yang kita butuhkan untuk esok pagi. Tapi ayat ini tidak untuk mengajarkan kita tidak perlu bekerja. Ayat ini justru mengajarkan bahwa ada jaminan yang Allah sediakan bagi kita, tetapi Allah mau kita bertindak di dalam kehidupan secara bertanggung jawab, yaitu dengan otak, tenaga, dan talenta yang Tuhan berikan. Itu kita pakai mengelola hidup, untuk mendapatkan apa yang Tuhan sudah sediakan bagi kita.
Kenapa kita khawatir? Karena ada keterbatasan kita di dalam ruang dan waktu. Keterbatasan membuat kita tidak mengetahui apa yang terjadi besok. Menurut hitung-hitungan kita, jika tidak punya uang tidak bisa makan. Kalau tidak punya deposito cukup, berat menyekolahkan anak. Hitungan-hitungan itu memang tidak salah. Dalam keterbatasan, kita berpikir seperti itu. Seluruh yang ada itu bisa kita hitung sedemikian rupa: sebab-akibatnya dan logika jalannya. Dalam keterba-tasan itu kita mampu berhitung dengan jitu dan tepat.
Jadi, masak kita tidak mau belajar pada realita umum yang disebut sebagai anugerah umum common grace. Kalau rajin be-lajar pasti pintar. Kalau Anda baik, dihargai orang dan banyak sahabat, mereka pasti meno-longmu. Secara common grace, semua orang diperlihara oleh kasih Tuhan. Karena Tuhan me-ngatakan bahwa Dia memberikan matahari bukan hanya untuk orang baik, tetapi juga orang jahat. Maka secara anugerah umum tadi kita sadar ada berkat Tuhan yang mengalir dalam hidup. Tetapi jangan kaitkan ini dengan special grace, kese-lamatan. Maka dalam common grace tadi, orang bisa belajar, bisa bertumbuh di dalam ke-imanannya, memahami kebenar-an kasih setia Allah. Maka di dalam keimanannya itu, ia akan bertumbuh dan makin kuat menaruh harapannya kepada Tuhan, dan pengharapannya itu akan merangsang dia untuk bekerja secara betanggung jawab di hadapan Tuhan.
Jadi, kalau secara umum orang baik membuka peluang masa depan bagi dirinya, apalagi orang yang takut Tuhan. Orang takut Tuhan pasti baik kan? Tapi jangan mengaku percaya Tuhan, tetapi Anda terkenal sebagai pekerja yang tidak jujur, tidak suka menolong. Jangan mengaku cinta Yesus tetapi Anda dikenal sebagai teman kerja yang tidak bisa diandalkan. Lalu kau berdoa marah-marah sama Tuhan. “Di manakah pemeliharaan-Mu?...” Lalu muncullah rasa khawatirmu tentang hidup ini, maka doamu selalu menuntut apa yang kau perlukan dalam hidupmu. Maka kau melupakan prinsip yang Tuhan ajarkan: “Cari dahulu kerajaan Allah semuanya akan ditambahkan bagimu” (Matius 6: 33). Orang yang mencari kerajaan Allah adalah yang melakukan kehendak-kehendak Allah dalam hidupnya. Maka dia jujur, bisa diandalkan, rekan yang baik dan menyenangkan. Maka dengan sendirinya dia akan mendapatkan penghargaan, bukan?
Nikmati porsi masing-masing
Jadi, mencari kerajaan Allah itu musti diterjemahkan secara praktikal dalam hidup. Jangan dijadikan semacam ayat yang menyembunyikan kesulitan kita dan mencoba lari dan bersembunyi di balik itu. Itu membunuh tanggung jawab kita untuk hidup seperti apa yang Tuhan kehendaki dalam rangka mencari kerajaan itu.
Karena itu mari kita hidup seperti yang Tuhan kehendaki. Cari kerajaan-Nya itu, lakukan kehendak-Nya, jangan sampai salah langkah, salah kaprah. Oleh karena itulah harta yang ada di dalam hidup ini tidak boleh kita khawatirkan. Kekhawatiran terhadap harta atau hidup ini hanya menunjukkan kesalahpahaman kita tentang arti pemeliharaan Tuhan. Jadi karena itu, jangan kamu khawatir akan hidupmu, apa yang hendak kamu makan atau minum. Jangan khawatir akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup lebih penting dari makanan? Tubuh lebih penting dari pakaian, dan hidup kita dipelihara Tuhan.
Khawatirlah kalau hidupmu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Khawatirlah kalau kamu bukan mencari kerajaan Tuhan, tetapi mencari kerajaanmu sendiri. Khawatirlah sekalipun dalam pencarian kerajaan itu saudara mempunyai banyak harta benda, karena harta benda itu bisa menjadi malapetaka. Kaya-miskin hanyalah dinamika dalam hidup yang harus disikapi dengan lapang dada. Yang kaya tidak besar kepala. Yang miskin tidak kecil hati, tetapi bagaimana menikmati masing-masing porsi yang Tuhan berikan pada kita. Karena tujuan utama kita bukan bagaimana kita bekerja untuk mendapatkan banyak harta tetapi bagaimana hidup memuliakan Tuhan.
Oleh karena itu tempatkanlah harta itu sebagai alat dalam kehidupan, bukan tujuan utama. Jangan pernah khawatir terhadap hal itu sekalipun manusia riskan atas hal itu, tetapi itulah perjuangan kita melawan rasa khawatir. Selama rasa khawatir itu kita biarkan bertumbuh berkembang bahkan menguasai kehidupan kita maka selama itu kita tidak akan pernah mengalami pertumbuhan iman yang utuh. Selama rasa khawatir itu melanda kehidupan maka selama itu pula kita tidak bisa apa-apa dalam membangun semangat keberimanan.
Karena itu belajarlah untuk membuang rasa khawatir itu dengan hidup bergantung pada Tuhan, bukan dengan menumpuk segala apa yang kau anggap bisa menjamin masa depanmu. Tidak ada yang salah dengan kekayaan. Yang salah sikap terhadap kekayaan. Tak ada yang salah dengan harta. Yang salah sikap terhadap harta itu. Jangan harta menjadi jaminan hidupmu, tetapi Tuhan. Tetapi kalau kau bilang Tuhan jaminan hidupmu, itu harus tampak benar-benar dalam aktivitasmu.
Jangan khawatir tentang apa yang akan kau makan, minum, pakai. Kekhawatiran tidak akan mengubah apa pun, tetapi bersyukurlah di dalam kekhawatiran yang sudah salah itu, toh Tuhan berbelas kasihan, mendidik membimbing menuntun kita. Karena itu mulailah dengan belajar mencari dulu kerajaan Allah supaya kau tidak terjebak dalam lilitan persoalan. (Artikel diambil dari Tabloid Reformata)
Friday, November 20, 2009
Wednesday, November 18, 2009
Saya Juga Munafik
Saya Juga Munafik
Bacaan hari ini: Matius 7:1-5
Ayat mas hari ini: Matius 7:5
Bacaan Alkitab Setahun: Yohanes 7-10
Kathleen Norris, dalam The Cloister Walk, bercerita tentang pengalamannya bergereja. Suatu ketika ia ditanyai seorang mahasiswa, mengapa ia terus pergi ke gereja dan bisa tahan menghadapi kemunafikan orang-orang kristiani. Ia merasa memperoleh ilham yang jitu, dan menjawab, ”Satu-satunya orang munafik yang perlu saya cemaskan pada hari Minggu pagi adalah diri saya sendiri.” Kathleen mengelakkan kecenderungan untuk mempersalahkan orang lain, dan memilih untuk berintrospeksi diri.
Sejak jatuh ke dalam dosa, manusia cenderung gampang melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Ia cepat melihat dan menghakimi pelanggaran orang lain, tetapi lamur terhadap pelanggarannya sendiri. Ketika dirinya yang melakukan pelanggaran, ia segera sibuk menuding orang lain sebagai penyebab pelanggarannya itu. Tuhan Yesus menghardik sikap munafik semacam itu. Dia tidak mengajari kita untuk menutup mata terhadap pelanggaran, tetapi mengarahkan kita untuk memulai pemeriksaan dari tempat yang benar: dari diri kita sendiri. Kita masing-masing memiliki “balok’”, kecenderungan untuk melakukan dosa dan pelanggaran. Kita perlu terlebih dahulu merendahkan diri dan meminta pertolongan Tuhan untuk mengeluarkan balok tersebut. Pandangan kita pun akan menjadi jernih, sehingga nantinya kita bisa menuntun saudara yang lain untuk mengeluarkan serpihan kayu dari matanya.
Hadapilah, oleh anugerah Tuhan dan ketaatan pada firman-Nya, dosa yang mencobai Anda. Kemenangan atas dosa itu akan memampukan Anda untuk menolong orang lain mengatasi dosa yang serupa.
JANGAN MENGHAKIMI DOSA ORANG LAIN KALAU ANDA TIDAK BERSEDIA MENOLONG ORANG ITU MENGATASI DOSANYA
Penulis: Arie Saptaji
Bacaan hari ini: Matius 7:1-5
Ayat mas hari ini: Matius 7:5
Bacaan Alkitab Setahun: Yohanes 7-10
Kathleen Norris, dalam The Cloister Walk, bercerita tentang pengalamannya bergereja. Suatu ketika ia ditanyai seorang mahasiswa, mengapa ia terus pergi ke gereja dan bisa tahan menghadapi kemunafikan orang-orang kristiani. Ia merasa memperoleh ilham yang jitu, dan menjawab, ”Satu-satunya orang munafik yang perlu saya cemaskan pada hari Minggu pagi adalah diri saya sendiri.” Kathleen mengelakkan kecenderungan untuk mempersalahkan orang lain, dan memilih untuk berintrospeksi diri.
Sejak jatuh ke dalam dosa, manusia cenderung gampang melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Ia cepat melihat dan menghakimi pelanggaran orang lain, tetapi lamur terhadap pelanggarannya sendiri. Ketika dirinya yang melakukan pelanggaran, ia segera sibuk menuding orang lain sebagai penyebab pelanggarannya itu. Tuhan Yesus menghardik sikap munafik semacam itu. Dia tidak mengajari kita untuk menutup mata terhadap pelanggaran, tetapi mengarahkan kita untuk memulai pemeriksaan dari tempat yang benar: dari diri kita sendiri. Kita masing-masing memiliki “balok’”, kecenderungan untuk melakukan dosa dan pelanggaran. Kita perlu terlebih dahulu merendahkan diri dan meminta pertolongan Tuhan untuk mengeluarkan balok tersebut. Pandangan kita pun akan menjadi jernih, sehingga nantinya kita bisa menuntun saudara yang lain untuk mengeluarkan serpihan kayu dari matanya.
Hadapilah, oleh anugerah Tuhan dan ketaatan pada firman-Nya, dosa yang mencobai Anda. Kemenangan atas dosa itu akan memampukan Anda untuk menolong orang lain mengatasi dosa yang serupa.
JANGAN MENGHAKIMI DOSA ORANG LAIN KALAU ANDA TIDAK BERSEDIA MENOLONG ORANG ITU MENGATASI DOSANYA
Penulis: Arie Saptaji
Menjaga Rahasia
Menjaga Rahasia
Bacaan hari ini: Matius 17:1-9
Ayat mas hari ini: Matius 17:9
Bacaan Alkitab Setahun: Yohanes 4-6
Bayangkan. Suatu hari Anda bertemu dengan aktor film terkenal di ruang tunggu bandara. Ia duduk di sebelah Anda, bahkan mengajak Anda bicara. Apa yang akan Anda lakukan? Mungkin Anda akan mengajaknya foto bersama; mengabadikan peristiwa langka itu. Sesampainya di rumah, pasti Anda tidak tahan lagi untuk menceritakan pengalaman istimewa itu pada semua orang.
Petrus, Yohanes, dan Yakobus juga pernah punya pengalaman istimewa ketika mereka diajak Yesus naik gunung. Di situ mereka menyaksikan pemandangan spektakuler. Tuhan Yesus berubah rupa. Bercahaya. Keilahian-Nya terpancar keluar. Lalu mereka melihat Musa dan Elia, dua nabi terbesar dalam sejarah Israel. Tak seorang pun pernah menyaksikan peristiwa sedahsyat ini! Ketiganya sudah tak sabar lagi menceritakan apa yang mereka lihat. Ini wajar, tetapi Yesus melarang mereka bercerita. Saatnya belum tiba. Lagipula Yesus tak ingin ketiganya jadi besar kepala. Mereka harus tutup mulut. Ini tidak mudah. Menjaga rahasia berarti melawan keinginan untuk dipandang hebat. Perlu pengendalian diri. Syukurlah Petrus berhasil. Puluhan tahun kemudian, baru ia ceritakan kejadian ini dalam suratnya (Baca 2 Petrus 1:17,18).
Bisakah Anda menjaga rahasia? Orang kerap membocorkan rahasia, lantas berkata: ”Jangan bilang kepada siapa-siapa lagi.” Dengan begitu orang berpikir tak akan menimbulkan masalah. Toh ”hanya” satu-dua orang yang tahu. Namun akhirnya, rahasia itu bocor ke mana-mana; menimbulkan masalah; melukai hati. Kita perlu belajar mengendalikan diri seperti ketiga murid Yesus. Ada saatnya diam adalah emas.
KEGAGALAN MENJAGA RAHASIA MEMBUAT ORANG TAK LAGI PANTAS DIPERCAYA
Penulis: Juswantori Ichwan
Bacaan hari ini: Matius 17:1-9
Ayat mas hari ini: Matius 17:9
Bacaan Alkitab Setahun: Yohanes 4-6
Bayangkan. Suatu hari Anda bertemu dengan aktor film terkenal di ruang tunggu bandara. Ia duduk di sebelah Anda, bahkan mengajak Anda bicara. Apa yang akan Anda lakukan? Mungkin Anda akan mengajaknya foto bersama; mengabadikan peristiwa langka itu. Sesampainya di rumah, pasti Anda tidak tahan lagi untuk menceritakan pengalaman istimewa itu pada semua orang.
Petrus, Yohanes, dan Yakobus juga pernah punya pengalaman istimewa ketika mereka diajak Yesus naik gunung. Di situ mereka menyaksikan pemandangan spektakuler. Tuhan Yesus berubah rupa. Bercahaya. Keilahian-Nya terpancar keluar. Lalu mereka melihat Musa dan Elia, dua nabi terbesar dalam sejarah Israel. Tak seorang pun pernah menyaksikan peristiwa sedahsyat ini! Ketiganya sudah tak sabar lagi menceritakan apa yang mereka lihat. Ini wajar, tetapi Yesus melarang mereka bercerita. Saatnya belum tiba. Lagipula Yesus tak ingin ketiganya jadi besar kepala. Mereka harus tutup mulut. Ini tidak mudah. Menjaga rahasia berarti melawan keinginan untuk dipandang hebat. Perlu pengendalian diri. Syukurlah Petrus berhasil. Puluhan tahun kemudian, baru ia ceritakan kejadian ini dalam suratnya (Baca 2 Petrus 1:17,18).
Bisakah Anda menjaga rahasia? Orang kerap membocorkan rahasia, lantas berkata: ”Jangan bilang kepada siapa-siapa lagi.” Dengan begitu orang berpikir tak akan menimbulkan masalah. Toh ”hanya” satu-dua orang yang tahu. Namun akhirnya, rahasia itu bocor ke mana-mana; menimbulkan masalah; melukai hati. Kita perlu belajar mengendalikan diri seperti ketiga murid Yesus. Ada saatnya diam adalah emas.
KEGAGALAN MENJAGA RAHASIA MEMBUAT ORANG TAK LAGI PANTAS DIPERCAYA
Penulis: Juswantori Ichwan
Subscribe to:
Posts (Atom)