Mati Bagi Diri Sendiri
Oleh: Pdt.DR.Erastus Sabdono.
Tuhan Yesus adalah pribadi yang harus dan patut kita teladani. Dalam Yoh. 12:24 kita menemukan rahasia kehidupan yang berbuah. Kehidupan yang menjadi berkat bagi orang lain. Biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati merupakan kiasan dari kenyataan hidup Yesus yang dikorbankan di atas kayu salib yang oleh karenanya dunia diselamatkan. Dari kenyataan ini kita dapat menimba kebenaran: Bahwa sebagaimana Yesus telah mengorbankan diri mati dan menjadi berkat bagi orang lain, maka nafas kebenaran ini juga kita miliki yaitu: Rela mati untuk menjadi berkat bagi orang lain. Mati disini tentu bukan mati fisik. Inilah kematian bagi diri sendiri, pribadi yang menjadi seperti biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati. Seorang yang telah mati bagi diri sendiri adalah:
Pertama, pribadi yang tidak mempertahankan reputasi dan harga diri tatkala ia tidak dihargai dalam pelayanan maupun pekerjaannya. Ia tidak perlu layak menerima penghargaan oleh karena prestasinya dalam pelayanan maupun pekerjaannya. Menjadi orang yang melayani Tuhan adalah menjadi hamba dan pencuci kaki orang lain. Prinsip Yesus ini tidak boleh ditanggalkan. Aku datang bukan untuk dilayani tetapi melayani (Mat. 20:28).
Kedua, pribadi yang tidak merasa berhak menerima upah sekalipun telah berjerih lelah lebih dari orang lain. Ia akan berkata seperti Paulus berkata: “Inilah upahku yaitu kalau aku boleh memberitakan Injil tanpa upah” (1Kor. 9:18). Bahkan ucapan terima kasih pun tidak perlu dituntut dari orang yang telah makan budi baik dan menikmati pelayanan kita. Adalah kebahagian kalau kita beroleh tempat pelayanan yang jemaat tidak mampu membalas kebaikan kita.
Ketiga, pribadi yang telah menyerahkan seluruh miliknya sebagai korban persembahan kepada Raja di atas segala raja – Tuhan Yesus Kristus. Kita harus belajar untuk merasa tidak bermilik dan memang kita dipanggil untuk tidak bermilik (Luk. 9:58). Hidup di dunia ini hanya sementara, untuk itu hidup kita ini harus menjadi korban persembahan dan bukan malah makan korban.
Keempat, pribadi yang taat seperti yang dicontohkan Yesus bagi kita. Ia taat bahkan sampai mati di kayu salib. Ketaatan yang membuahkan keselamatan bagi orang lain. Oleh sebab itu untuk menjadi berkat bagi sesama, kita harus rela masuki “kematian” setiap hari, supaya kehidupan Yesus nyata dalam diri kita. Alkitab berkata bahwa kita semua adalah surat yang terbuka yang dibaca setiap orang. Dari situlah nama Tuhan akan dipermuliakan atau akan dipermalukan lewat kehidupan kita.
SolaGracia.
Friday, October 30, 2009
Friday, October 16, 2009
Alasan Untuk Memaafkan
Alasan untuk Memaafkan
Bacaan hari ini: Matius 18:21-35
Ayat mas hari ini: Matius 6:12
Bacaan Alkitab Setahun: Matius 1-4
Di sebuah ruang pengadilan, seorang pemuda duduk di kursi terdakwa. Ia didakwa membunuh teman sebayanya. Sebelum hakim membaca keputusan, ia bertanya kepada ayah anak yang menjadi korban, “Pemuda ini terbukti bersalah telah membunuh putra Anda. Menurut Anda hukuman apa yang setimpal untuknya?” Bapak tua itu menjawab, “Pak Hakim, anak saya satu-satunya telah meninggal. Hukuman apa pun tidak akan mengembalikan hidupnya. Saya sangat mengasihinya, dan sekarang tidak punya siapa-siapa untuk saya kasihi. Tolong kirimkan terdakwa ke rumah saya, untuk menjadi anak saya.”
Apa reaksi kita terhadap orang yang pernah menyakiti kita? Ingin menghukumnya? Mencoba untuk membuatnya merasakan penderitaan yang kita rasakan, bahkan kalau bisa lebih menderita; biar tahu rasa? Memaafkan memang bukan perkara semudah membalikkan telapak tangan. Namun, begitulah yang Tuhan ingin kita lakukan (ayat 22). Lalu, bagaimana melaksanakan kehendak Tuhan itu di tengah keterbatasan kita?
Pertama, sadari bahwa ibarat orang berutang, kita lebih punya banyak utang kepada Tuhan, daripada orang lain kepada kita. Dosa kita yang begitu banyak, oleh kasih Kristus lunas dibayar di kayu salib. Jadi, kalau utang kita yang segitu banyaknya sudah Tuhan bayar lunas, mengapa kita masih terus menuntut orang lain ”membayar” utangnya kepada kita (ayat 33)? Kedua, sadari bahwa menyimpan dendam dan kebencian dalam hati hanya akan menimbulkan ketidaksejahteraan. Hanya menambah beban. Dengan memaafkan sebetulnya kita tengah berbuat baik kepada diri sendiri.
Kekuatan seseorang terletak ketika ia bisa memaafkan orang yang menyakitinya
Penulis: Ayub Yahya
Bacaan hari ini: Matius 18:21-35
Ayat mas hari ini: Matius 6:12
Bacaan Alkitab Setahun: Matius 1-4
Di sebuah ruang pengadilan, seorang pemuda duduk di kursi terdakwa. Ia didakwa membunuh teman sebayanya. Sebelum hakim membaca keputusan, ia bertanya kepada ayah anak yang menjadi korban, “Pemuda ini terbukti bersalah telah membunuh putra Anda. Menurut Anda hukuman apa yang setimpal untuknya?” Bapak tua itu menjawab, “Pak Hakim, anak saya satu-satunya telah meninggal. Hukuman apa pun tidak akan mengembalikan hidupnya. Saya sangat mengasihinya, dan sekarang tidak punya siapa-siapa untuk saya kasihi. Tolong kirimkan terdakwa ke rumah saya, untuk menjadi anak saya.”
Apa reaksi kita terhadap orang yang pernah menyakiti kita? Ingin menghukumnya? Mencoba untuk membuatnya merasakan penderitaan yang kita rasakan, bahkan kalau bisa lebih menderita; biar tahu rasa? Memaafkan memang bukan perkara semudah membalikkan telapak tangan. Namun, begitulah yang Tuhan ingin kita lakukan (ayat 22). Lalu, bagaimana melaksanakan kehendak Tuhan itu di tengah keterbatasan kita?
Pertama, sadari bahwa ibarat orang berutang, kita lebih punya banyak utang kepada Tuhan, daripada orang lain kepada kita. Dosa kita yang begitu banyak, oleh kasih Kristus lunas dibayar di kayu salib. Jadi, kalau utang kita yang segitu banyaknya sudah Tuhan bayar lunas, mengapa kita masih terus menuntut orang lain ”membayar” utangnya kepada kita (ayat 33)? Kedua, sadari bahwa menyimpan dendam dan kebencian dalam hati hanya akan menimbulkan ketidaksejahteraan. Hanya menambah beban. Dengan memaafkan sebetulnya kita tengah berbuat baik kepada diri sendiri.
Kekuatan seseorang terletak ketika ia bisa memaafkan orang yang menyakitinya
Penulis: Ayub Yahya
Monday, October 5, 2009
Tanda-tanda Zaman
Tanda-tanda Zaman
Oleh : Pdt.Dr.Erastus Sabdono
Sebagai mahluk kekal, setiap manusia menghadapi resiko kekekalan dalam hidupnya yang singkat. Oleh sebab itu manusia yang tidak mempertimbangkan hal ini adalah manusia bodoh, tidak berakal. Kesukaran-kesukaran hidup yang terjadi dalam hidup kita sebenarnya hendak mengajak kita untuk berpaling kepada Tuhan dan mencari apa yang bernilai abadi. Planet yang kita huni ini bukanlah dunia yang menjanjikan. Kebakaran hutan, menipisnya lapisan ozon, gejala-gejala yang aneh dan menakutkan, makin berkurangnya sumber kekayaan alam, krisis-krisis hidup manusia (ekonomi,moral, politik,keamanan yang berkaitan dengan ancaman nuklir dan senjata perang pemusnah lain), dan berbagai ancaman terhadap kelangsungan hidup manusia seperti berbagai penyakit yang muncul tanpa ada terapinya, ancaman asteroid yang bisa menabrak bumi dan sebagainya.
Berbahagialah mereka yang dapat membaca tanda zaman ini dan berpaling kepada Tuhan dan mencari-Nya. Jika kita termasuk pencari Tuhan, kita tergolong dalam kelompok yang sempat tertolong. Banyak kelompok yang tidak sempat tertolong lagi, sebab pandangan hidup mereka tertuju kepada dunia ini semata-mata. Mereka tidak percaya Tuhan Yesus akan datang sesegera mungkin. Mereka berpikir bahwa Tuhan Yesus datang barangkali 100 tahun lagi atau lebih.
Sebagaimana seseorang dapat mengenali cuaca dengan tanda-tanda yang ada, demikian pula seorang anak Tuhan harus dapat menemukan tanda-tanda zaman untuk mengerti saat-saat penting tersebut, kita dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu (Mat.24:45-51). Tanda-tanda zaman yang kita dapat baca ini akan menggerakan kita melakukan tindakan yang penting.
Kalau ternyata planet yang kita huni ini tidak menjanjikan kehidupan yang sejahtera, bahkan makin mencemaskan, maka kita didorong untuk mencari kehidupan di dunia lain yang menjanjikan suatu kehidupan yang indah dan bernilai kekal. Kehidupan seperti ini tidak dapat kita jumpai dalam agama dan ajaran manapun, kecuali apa yang diajarkan Tuhan Yesus (Yoh.15:1-4). Itu sebabnya Tuhan Yesus berkali-kali menasehati agar kita mencari dan mengutamakan harta surgawi yang memiliki nilai kekal (Mat.6:19-21). Paulus pun demikian (Kol.3:1-4). Yang harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan Tuhan dalam kehidupan pribadi kita, agar kita diperkenankan bertemu dengan Tuhan di awan-awan permai (1 Tes.4:17).
Artikel ini diambil dari : Truth Daily Enlightenment.
Oleh : Pdt.Dr.Erastus Sabdono
Sebagai mahluk kekal, setiap manusia menghadapi resiko kekekalan dalam hidupnya yang singkat. Oleh sebab itu manusia yang tidak mempertimbangkan hal ini adalah manusia bodoh, tidak berakal. Kesukaran-kesukaran hidup yang terjadi dalam hidup kita sebenarnya hendak mengajak kita untuk berpaling kepada Tuhan dan mencari apa yang bernilai abadi. Planet yang kita huni ini bukanlah dunia yang menjanjikan. Kebakaran hutan, menipisnya lapisan ozon, gejala-gejala yang aneh dan menakutkan, makin berkurangnya sumber kekayaan alam, krisis-krisis hidup manusia (ekonomi,moral, politik,keamanan yang berkaitan dengan ancaman nuklir dan senjata perang pemusnah lain), dan berbagai ancaman terhadap kelangsungan hidup manusia seperti berbagai penyakit yang muncul tanpa ada terapinya, ancaman asteroid yang bisa menabrak bumi dan sebagainya.
Berbahagialah mereka yang dapat membaca tanda zaman ini dan berpaling kepada Tuhan dan mencari-Nya. Jika kita termasuk pencari Tuhan, kita tergolong dalam kelompok yang sempat tertolong. Banyak kelompok yang tidak sempat tertolong lagi, sebab pandangan hidup mereka tertuju kepada dunia ini semata-mata. Mereka tidak percaya Tuhan Yesus akan datang sesegera mungkin. Mereka berpikir bahwa Tuhan Yesus datang barangkali 100 tahun lagi atau lebih.
Sebagaimana seseorang dapat mengenali cuaca dengan tanda-tanda yang ada, demikian pula seorang anak Tuhan harus dapat menemukan tanda-tanda zaman untuk mengerti saat-saat penting tersebut, kita dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu (Mat.24:45-51). Tanda-tanda zaman yang kita dapat baca ini akan menggerakan kita melakukan tindakan yang penting.
Kalau ternyata planet yang kita huni ini tidak menjanjikan kehidupan yang sejahtera, bahkan makin mencemaskan, maka kita didorong untuk mencari kehidupan di dunia lain yang menjanjikan suatu kehidupan yang indah dan bernilai kekal. Kehidupan seperti ini tidak dapat kita jumpai dalam agama dan ajaran manapun, kecuali apa yang diajarkan Tuhan Yesus (Yoh.15:1-4). Itu sebabnya Tuhan Yesus berkali-kali menasehati agar kita mencari dan mengutamakan harta surgawi yang memiliki nilai kekal (Mat.6:19-21). Paulus pun demikian (Kol.3:1-4). Yang harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan Tuhan dalam kehidupan pribadi kita, agar kita diperkenankan bertemu dengan Tuhan di awan-awan permai (1 Tes.4:17).
Artikel ini diambil dari : Truth Daily Enlightenment.
Subscribe to:
Posts (Atom)